NUKILAN.ID | JAKARTA — Pemadaman listrik yang melanda seluruh Aceh sejak 29 September hingga 1 Oktober 2025 masih menyisakan keresahan di tengah masyarakat. Banyak pihak menilai, kejadian ini merupakan salah satu yang terparah sejak masa pascatsunami 2004 dan berakhirnya konflik. Ironisnya, Aceh justru dikenal memiliki sumber daya energi yang melimpah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo), Jose Rizal, turut menyoroti persoalan ini. Sebagai tokoh asal Aceh, Jose mengaku peristiwa tersebut mengingatkannya pada upaya yang pernah ia lakukan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Rancong di kawasan Arun, Kabupaten Aceh Utara.
Menurut Jose, proyek tersebut sempat digagas melalui perusahaannya, PT Jorindo Agung, yang kemudian membentuk PT Jorindo Aceh Power bekerja sama dengan Perusda Bina Usaha.
“Saat itu, semua perizinan lokasi sudah siap. Investor pendanaan juga siap. Kami juga sudah mengantongi izin hibah lokasi tanah dari pemerintah pusat, ESDM. Pertamina dan Kementerian Keuangan sudah mendapat persetujuan hibah tanah lokasi tersebut kepada kabupaten Aceh Utara yang merupakan tanah PT Arun milik Pertamina seluas 19,2 Ha untuk dijadikan lokasi PLTU,” kisah Jose.
Ia menambahkan, pada 14 Agustus 2007 telah dilakukan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) bersamaan dengan acara groundbreaking PLTU Pacitan di Jawa Timur.
“Sekalian dengan tiga PLTU lainnya menandatangani PPA di depan Menteri ESDM dan Dirut PLN serta yang mewakili pemerintah sebagai proyek nasional IPP (Independent Power Producer). Tapi kemudian proyek itu tidak bisa diwujudkan,” kenangnya.
Hibah Tanah yang Terhambat
Jose menjelaskan, gagalnya proyek PLTU Rancong disebabkan berlarut-larutnya proses pemecahan sertifikat tanah hibah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Utara.
“Awalnya, karena Kabupaten Aceh Utara mengalami pemekaran, melahirkan Kota Lhokseumawe. Kebetulan lokasi yang direncanakan untuk PLTU berada di perbatasan dua wilayah yang kemudian menjadi masuk ke wilayah Kota Lhokseumawe. Setelah itu kemudian terbitnya surat pembatalan hibah dari Wali Kota Lhokseumawe,” ujarnya.
Ia menilai, persoalan itu muncul karena ego sektoral antarpemerintah daerah. “Memang pada akhirnya dapat diselesaikan dengan musyawarah pemda kedua belah pihak. Tapi bagi investor menjadi takut. Harusnya tanah untuk kepentingan industri—termasuk untuk PLTU Rancong, yang sudah disetujui Kementerian Keuangan untuk dihibahkan ke pemerintah daerah—malah dibatalkan oleh Wali Kota Lhokseumawe. Itulah akibat ego sektoral. Padahal saya ikut membantu pemerintah daerah Aceh Utara mengurus hibah itu,” kata Jose.
Menurutnya, pembatalan hibah membuat pemecahan sertifikat tanah terhambat, dan meskipun konsolidasi telah dilakukan berkali-kali, proses tersebut tidak pernah tuntas. “Karena jenuh menunggu, investor akhirnya mundur,” ujarnya.
Pernyataan Jose diperkuat oleh Mehrabsyah, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Aceh Utara.
“Saya menjadi saksi bagaimana Pak Jose melalui Jorindo Agung dan Jorindo Aceh Power berjuang mewujudkan PLTU Rancong. Sebagai putra Aceh, saya kira beliau sudah berusaha memberikan pikiran, tenaga, dan bahkan materi yang tidak sedikit untuk memperjuangkan hadirnya PLTU Rancong,” kata Mehrabsyah.
Ia menambahkan, sejak 2007 hingga 2013, berbagai koordinasi dan konsolidasi dilakukan untuk merealisasikan proyek tersebut. Namun, ia juga tidak memahami mengapa BPN tak kunjung menyelesaikan pemecahan sertifikat agar PT Jorindo Aceh Power dapat mengelola lahan itu.
Siap Kelola Energi Geotermal
Kini, Jose Rizal mengaku tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan, khususnya geotermal, di Aceh. “Indonesia adalah negara dengan potensi geotermal terbesar ke-3 di dunia. Dan salah satunya Aceh. Kalau Aceh mengalami krisis energi, itu ironi,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah dirinya akan kembali membangun pembangkit listrik di Aceh, Jose menjawab, “Sebagai putra Aceh, tentu saja saya terpanggil untuk membangun Aceh. Masalahnya, apakah pemerintah daerah bersedia memberi izin dan memfasilitasi? Saya tidak ingin mengulang cerita PLTU Rancong. Saya berharap pemerintah daerah mau benar-benar mengoptimalkan potensi energi di Aceh, sehingga Aceh tidak lagi mengalami peristiwa seperti sekarang. PLTU Rancong juga masih memungkinkan dilanjutkan kok, asal pemerintah mau,” pungkasnya.