NUKILAN.id | Opini – Keputusan PDI Perjuangan memecat Joko Widodo tampaknya seperti langkah berani yang akhirnya diambil setelah hubungan panas-dingin antara Jokowi dan elite PDIP berlangsung bertahun-tahun. Namun, manuver ini memicu pertanyaan besar: Siapa sebenarnya yang lebih membutuhkan siapa? Apakah Jokowi butuh partai, atau justru partai yang butuh Jokowi?
PDIP, sebagai partai tempat Jokowi bernaung sejak awal kiprahnya di panggung politik nasional, tentu memiliki perhitungan matang sebelum akhirnya menjatuhkan keputusan ini. Ketidakcocokan antara Jokowi dan elite partai, termasuk Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, bukanlah hal baru. Namun selama ini, pemecatan tidak pernah dilakukan. Mengapa? Karena Jokowi tetap dianggap memiliki daya tarik politik yang mampu mendulang suara bagi PDIP, khususnya di Jawa Tengah. Singkatnya, pemecatan saat itu berisiko merugikan partai.
Kini, keadaan telah berbeda. Figur Jokowi perlahan dijauhkan dari simbol partai berlambang banteng tersebut. Pemecatan itu membebaskan Jokowi dari asosiasi sebagai kader utama PDIP, membentuk jarak yang membuatnya berdiri sebagai sosok politik independen. Meski begitu, bukan berarti pengaruh Jokowi luntur. Justru, langkah ini semakin menarik perhatian publik dan memperkuat persepsi bahwa Jokowi tidak lagi membutuhkan partai politik untuk bertahan di panggung nasional.
Ketika ditanya soal pemecatan, Jokowi hanya menjawab pendek: “Ya berarti partainya perorangan.” Kalimat ini, meski singkat, sarat makna dan multitafsir. Ada yang melihat pernyataan itu sebagai sindiran tajam kepada PDIP. Jika pemecatan terjadi hanya karena perbedaan pandangan dengan Megawati, maka ini mengisyaratkan bahwa PDIP lebih mirip perusahaan pribadi ketimbang partai demokratis. Partai menjadi milik segelintir elite yang berkuasa, bukan ruang gagasan tempat kader bisa bebas berpendapat.
Di sisi lain, Jokowi tampaknya tidak ambil pusing. Selama ini, ia telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan dan bahkan bersinar tanpa harus tunduk sepenuhnya pada kehendak partai. Contoh paling nyata adalah ketika ia berseberangan dengan PDIP dalam isu-isu besar seperti penyelenggaraan Piala Dunia U-20 atau pembangunan infrastruktur strategis. Sikapnya yang memilih diam dan menghindari konflik terbuka menunjukkan Jokowi paham benar bagaimana memainkan perannya sebagai pemimpin nasional.
Jika PDIP berpikir pemecatan ini akan mengecilkan pengaruh Jokowi, realitas politik menunjukkan sebaliknya. Dalam Pemilu 2024, kepala daerah dan tokoh politik dari berbagai partai berlomba-lomba mendekati Jokowi untuk mendapatkan dukungan. Ini membuktikan bahwa Jokowi tetap memiliki daya tarik politik yang kuat, bahkan tanpa harus bernaung di bawah bendera partai manapun. Posisi anak-anaknya yang kini berkiprah di panggung politik nasional ā Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih, Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI, dan Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumatera Utara ā semakin mempertegas kekuatan politik keluarga Jokowi.
Namun, bukan berarti Jokowi menutup pintu untuk kembali bergabung dengan partai tertentu. Golkar, misalnya, menjadi salah satu opsi yang kerap disebut-sebut. Partai berlambang pohon beringin ini memiliki daya tarik tersendiri. Dengan sejarah panjang dan struktur organisasi yang solid, Golkar juga dikenal sebagai partai yang lebih cair, tanpa dominasi figur sentral. Status Jokowi sebagai anggota kehormatan Golkar pun mengindikasikan kedekatan emosional yang sudah terbangun lama. Bahkan Gibran disebut-sebut memiliki hubungan spesial dengan partai ini.
Namun, jika Jokowi memilih untuk berdiri sendiri, itu pun bukan masalah besar. Justru, independensinya membuka ruang manuver yang lebih luas dalam merangkul berbagai kekuatan politik. Jokowi bisa tetap memainkan peran strategis sebagai sosok pemersatu di tengah polarisasi politik yang kian tajam.
Lebih dari itu, pemecatan Jokowi dari PDIP membawa pesan tersirat tentang kondisi partai politik di Indonesia. Partai yang tidak mampu menerima dinamika internal dan perbedaan pendapat berisiko kehilangan kader potensialnya. Jika partai hanya dikelola sebagai perusahaan keluarga, di mana suara elite lebih dominan dibanding demokrasi internal, maka wajar jika banyak kader akhirnya memilih keluar atau berdiri sendiri.
Jokowi telah membuktikan bahwa politik bukan soal loyalitas buta terhadap partai. Ia mampu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas, meski harus berseberangan dengan keputusan partainya sendiri. Hal ini pula yang membuatnya tetap dicintai oleh masyarakat.
Pada akhirnya, pemecatan Jokowi dari PDIP bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini menjadi awal baru bagi Jokowi untuk menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak pernah bergantung pada bendera partai. Dengan atau tanpa partai, Jokowi tetap besar. Dan bagi PDIP, ini menjadi pengingat bahwa partai politik semestinya menjadi rumah bagi semua kader, bukan sekadar milik segelintir elite.
Pilihan kini ada di tangan Jokowi: melanjutkan langkahnya sebagai figur independen atau bergabung dengan partai lain. Namun satu hal yang pasti, Jokowi telah melampaui sekat-sekat politik dan membuktikan bahwa kepemimpinan sejati tidak butuh label partai untuk tetap dicintai rakyat. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)