Jelang HUT RI ke-80, Prof Didin Nilai Capaian Demokrasi Politik Tak Sejalan dengan Kemajuan Ekonomi

Share

NUKILAN.ID | JAKARTA – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin, menyoroti kesenjangan antara capaian demokrasi politik dengan perkembangan ekonomi nasional.

Menurutnya, Indonesia kerap disebut sebagai salah satu negara dengan demokrasi politik yang mapan, bahkan berada di peringkat tiga besar dunia. Namun, pencapaian ini dinilai belum membawa dampak berarti bagi kesejahteraan rakyat.

“Capaian demokrasi politik, sejak tahun 2004, adalah pilpres langsung, otonomi daerah, pilkada, hingga pilkada serentak,” kata Prof Didin.

“Tapi buat apa itu? Karena sejatinya demokrasi secara sederhana adalah tidak hanya politik tapi juga ekonomi. Sayangnya, tidak ada korelasi antara demokrasi politik dengan ekonomi di pasca reformasi ini,” tambahnya.

Ia mengkritik kebijakan pembangunan era Presiden Joko Widodo yang fokus pada infrastruktur, namun tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

“Ekonomi kita mediocre, belum bisa mencapai seperti yang terjadi di zaman Soeharto. Lebih parah lagi, pertumbuhan ekonomi yang pernah menyentuh 6 persen di era SBY dan rata-rata 5 persen di zaman Jokowi, semua terakumulasi oleh mereka kelompok kecil, oligarki bisnis itu,” ujarnya.

Prof Didin menilai, salah satu penyebabnya adalah desain regulasi politik yang memungkinkan hubungan transaksional antara pengusaha dan politisi.

“Penerapan UU Politik dan UU Pemilu memungkinkan pembiayaan para pengusaha baik pusat maupun daerah pada kelompok politik, menimbulkan utang pelaku politik pada pengusaha, yang berujung pada 60 persen pejabat terlibat korupsi,” tuturnya.

Lebih jauh, ia mengkritik kondisi penegakan hukum yang dinilainya kerap dijadikan alat politik. “Hukum sekarang menjadi alat untuk memukul lawan politik. Oligarki bisnis bekerja sama dengan oligarki politik. Itu lah alasan mengapa, sebelumnya saya nyatakan, tidak tertutup kemungkinan indeks oligarki kita yang terburuk. Jadi demokrasi politik itu untuk siapa?”

Prof Didin juga menyinggung meningkatnya jumlah masyarakat miskin, meski data resmi dari BPS maupun Bank Dunia menunjukkan tren yang berbeda. Sebaliknya, kata dia, jumlah orang kaya justru bertambah, bahkan masuk dalam jajaran elite global.

“Seperti Low Tuck Kwong, Prayogo Pangestu, Michael Hartono dan Budi Hartono. Dari hal tersebut bisa dilihat, bahwa kelompok kaya itu semakin kaya,” pungkasnya.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News