Friday, March 29, 2024

Jejak Kesetaraan Gender di Indonesia sebagai Memory of the World

Nukilan.id – Kampanye kesetaraan gender agar perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan terus digaungkan di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Upaya menjaga dokumentasi sejarah tentang rekam jejak kesetaraan gender di tanah air pun menjadi penting dan perlu digalakkan sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Oleh karenanya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berkolaborasi dengan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan UNESCO Indonesia menyelenggarakan proyek penelitian dan indentifikasi arsip bersejarah nasional terkait dengan keseteraan gender melalui program Memory of the World. Kolaborasi ini berhasil menemukan arsip sejarah nasional R.A Kartini serta Kongres Perempuan Pertama di Indonesia, untuk kemudian didaftarkan menjadi memory of the world.

“Program Memory of the World UNESCO dibentuk untuk untuk melestarikan aset bangsa di dunia dalam bentuk warisan dokumenter karena nilainya yang sangat berharga. Dalam proyek ini, ini pertama kalinya LIPI menerapkan arsip sebagai sumber utama penelitian,” terang Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, saat membuka Webinar Gender Equality: Archival Documentary and Memory of the World, dikutip dari laman website LIPI, Jum’at (16/4/2021).

Handoko menekankan, upaya menominasikan arsip sejarah kesetaraan gender nasional sebagai memory of the world merupakan salah satu langkah awal melestarikan warisan kebudayaan dan sejarah Indonesia. “Upaya kita tidak berhenti di sini, tetapi bagaimana membawa nilai warisan dokumenter tersebut ke masyarakat, sehingga menjadi pembelajaran dalam mengembangkan iptek untuk masa depan bangsa yang lebih baik,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dudi Hidayat, Plt Deputi bidang Jasa Ilmiah LIPI sekaligus Ketua Komite Nasional Memory of the World Indonesia menyatakan, melalui program Memory of the World, kita berupaya meningkatkan nilai arsip kesetaraan gender. Arsip bersejarah kesetaraan gender haruslah memenuhi paling tidak salah satu kriteria Penanda Kesetaraan Gender atau Gender Equality Markers (GEM) yang ditetapkan UNESCO.

Selanjutnya Dudi menjabarkan, kriteria GEM terdiri dari Sensitif Gender, yaitu dokumen yang mengidentifikasi ketidaksetaraan gender tetapi tidak disebutkan secara langsung; Responsif Gender, yang mencakup berbagai program/kebijakan yang menyasar isu kesetaraan gender, dan Transformatif Gender, yaitu dokumen yang memiliki dampak nyata atau mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat.

Kurniawati Hastuti Dewi, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dalam paparannya mengungkapkan terpilihnya sejarah Kongres Wanita Indoesia (1928 – 1935) untuk dinominasikan sebagai Memory of World Kesetaraan Gender didukung oleh beberapa arsip, antara lain arsip KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), kisah Razoux Schulz-Metzer sebagai perempuan Belanda yang ditunjuk di Volksraad, arsip berita Perempuan dan Parlemen dalam pemilihan umum 1950-an, arsip wawancara tokoh wanita terkemuka Maria Ulfah Santoso dan SK. Trimurti, PERWARI (Persatuan Wanita Indonesia) 1945-an, arsip berita Konferensi Perempuan 1945-an, KNKWI (Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia) 1970-an, Organisasi Wanita Islam 1970-an, dan WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia).
“Sementara itu, warisan dokumenter Surat-Surat R.A Kartini sebagai Memory of the World dalam kategori pendidikan, perempuan dan politik didukung oleh arsip-arsip pendidikan untuk pribumi dalam masa kolonial serta beberapa koleksi dari Perpustakaan Nasional Indonesia,” terang Kurniawati.

Kurniawati menjelaskan warisan dokumenter Kongres Wanita Indonesia memenuhi kriteria Penanda Kesetaraan Gender dalam kategori Responsif Gender. Di sisi lain, arsip kisah perjuangan R.A Kartini diidentifikasi dalam kategori Transformatif Gender sebab mampu memberikan pengaruh luar biasa pada perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat di Indonesia.

“Kongres Wanita Indonesia merepresentasikan hak dasar berpolitik bagi perempuan, sementara Surat Kartini menjadi sumber ilmu pengetahuan dan diskusi di berbagai belahan dunia, mengenai kondisi dan pemikiran perempuan di jaman Hindia Belanda dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, Prancis, dan Malaysia,” jelas Kurniawati.

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img