NUKILAN.ID | JAKARTA – Jaringan Women, Peace and Security (WPS) Indonesia menyampaikan pernyataan bersama menanggapi penangkapan sejumlah perempuan pasca demonstrasi yang berlangsung pada 25 Agustus hingga 11 September 2025. Pernyataan ini dibacakan serentak pada Minggu (21/9/2025) pukul 13.00 WIB, 14.00 WITA, dan 15.00 WIT.
Dalam sikap resminya, jaringan WPS Indonesia menegaskan dukungan terhadap Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menilai penangkapan tersebut melanggar hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat, ekspresi, dan kritik secara damai.
Penangkapan terhadap tiga perempuan berinisial L, F, dan G disebut dilakukan secara nonprosedural. Dalam laporannya, Komnas Perempuan menemukan dugaan adanya perlakuan tidak manusiawi, termasuk pemaksaan tanda tangan surat pengakuan sebagai tersangka.
Tindakan itu, menurut jaringan WPS Indonesia, mencederai mandat undang-undang, termasuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum. Aturan tersebut menegaskan hak perempuan atas keamanan pribadi, pendampingan hukum, hingga pemulihan psikososial.
“Penangkapan nonprosedural yang dialami beberapa aktivis HAM merupakan ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia,” demikian pernyataan jaringan WPS Indonesia. Mereka menilai suara kritis masyarakat sipil seharusnya tidak diasosiasikan dengan tindakan makar atau terorisme.
Selain itu, jaringan ini juga menyoroti praktik pembungkaman di ruang digital. Mulai dari hoaks, doxing, hingga penggunaan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap menjadi alat kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela HAM, khususnya perempuan.
Tuntutan kepada Negara
Dalam pernyataannya yang diterima Nukilan.id pada Senin (22/9/2025), jaringan WPS Indonesia mendukung desakan Komnas Perempuan kepada negara dan aparat keamanan. Beberapa poin utama yang ditekankan, antara lain:
-
Kapolri diminta mengabulkan usulan penangguhan tahanan bagi tiga perempuan tersebut, sebagaimana disampaikan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
-
KPPPA diharapkan melanjutkan pembelaan hukum, memastikan layanan pemulihan yang responsif gender, serta menjamin perlindungan hak anak yang terdampak akibat penangkapan ini.
-
Komnas Perempuan diminta melanjutkan pemantauan, advokasi kebijakan, dan pemenuhan hak-hak korban serta keluarga.
-
Kementerian Informasi dan Digital didesak meninjau dan merevisi UU ITE agar tidak lagi menjadi alat kriminalisasi, serta memastikan perlindungan data pribadi perempuan dari serangan digital berbasis gender.
-
Publik diimbau meningkatkan literasi digital dan kesadaran berdemokrasi, baik di ruang nyata maupun ruang daring.
Komitmen Internasional
Jaringan WPS Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No 7 Tahun 1984. Karena itu, negara wajib melindungi perempuan dari perlakuan hukum yang merugikan.
“Penangguhan penahanan para perempuan tersebut bukan berarti menghalangi proses hukum, melainkan memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan cara yang proporsional, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” tegas pernyataan itu.
Mereka menambahkan, langkah cepat pemerintah akan menunjukkan komitmen terhadap demokrasi, keadilan gender, dan perlindungan hak asasi di Indonesia.
Pada akhirnya, jaringan WPS Indonesia mengajak seluruh elemen bangsa bersatu mendukung perlindungan hak demokrasi, menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan warga sipil, serta memastikan negara menjalankan kewajibannya sesuai konstitusi dan komitmen internasional. (XRQ)
Reporter: Akil