NUKILAN.id | Jakarta – Program subsidi mobil listrik yang diluncurkan pemerintah Thailand sejak 2022 menghadapi berbagai tantangan. Subsidi hingga 150.000 baht (sekitar Rp 68 juta) per unit yang ditawarkan kepada warganya ternyata menimbulkan efek samping yang signifikan pada industri otomotif negara tersebut.
Pemerintah Thailand memberikan insentif besar untuk kendaraan listrik sebagai bagian dari Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China, yang juga menghapuskan tarif untuk kendaraan listrik impor asal China. Namun, langkah ini ternyata memicu masalah baru. Tokoh industri otomotif Thailand melaporkan bahwa pasar mobil listrik mengalami kelebihan pasokan, yang berdampak pada penurunan harga mobil berbahan bakar fosil.
Menurut laporan Asia Nikkei, dampak dari subsidi ini sangat terasa pada produsen mobil konvensional, terutama merek Jepang yang memproduksi sebagian besar kendaraan fosil di Thailand. Penurunan penjualan mobil berbahan bakar fosil ini juga mempengaruhi rantai pasokan, menyebabkan beberapa produsen suku cadang terpaksa menutup usaha mereka.
Berita terkait: [Malapetaka di Balik Subsidi Mobil Listrik Thailand]
Dengan kondisi ini, kekhawatiran muncul mengenai potensi penularan efek samping serupa ke Indonesia yang tengah memulai transisi menuju kendaraan listrik. Industri otomotif Indonesia merupakan salah satu pilar ekonomi nasional, menyerap 1,5 juta tenaga kerja dan berkontribusi sebesar 4 persen terhadap PDB Indonesia. Selain itu, produk otomotif dalam negeri juga diekspor ke berbagai negara.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, menjelaskan bahwa transisi menuju kendaraan listrik di Indonesia juga dapat mempengaruhi pemasok komponen otomotif.
“Sekitar 45 persen industri komponen, khususnya yang memproduksi bagian mesin motor bakar, berpotensi tutup secara bertahap,” ujar Yannes kepada detikOto pada Rabu (31/7/2024).
Namun, Yannes mengungkapkan bahwa kebijakan Indonesia berbeda dari Thailand.
“Sementara Thailand fokus penuh pada kendaraan listrik, Indonesia memilih pendekatan bauran dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan, seperti biodiesel dan bioetanol. Hal ini dikarenakan perbedaan sumber daya, di mana Indonesia memiliki cadangan nikel dan lithium yang besar serta produksi sawit yang signifikan,” jelasnya.
Indonesia saat ini tengah mengembangkan bahan bakar nabati, dengan biodiesel mencapai 35 persen (B35) dan bioetanol masih pada tahap percobaan dengan konsentrasi 5 persen (Bioetanol E5). Yannes menyarankan agar produsen otomotif mengembangkan komponen mesin yang kompatibel dengan biofuel dan bioetanol, terutama untuk kendaraan besar seperti truk, guna memenuhi kebutuhan pasar di luar Pulau Jawa.
“Populasi kendaraan pribadi di Pulau Jawa sudah sangat padat. Oleh karena itu, penting untuk mempersiapkan kendaraan berbasis bahan bakar terbarukan untuk pasar di luar Jawa,” tambahnya.
Sebagai langkah preventif, penting bagi Indonesia untuk memonitor dan mengantisipasi potensi dampak negatif dari kebijakan subsidi kendaraan listrik, agar transisi menuju elektrifikasi kendaraan tidak menimbulkan masalah yang serupa dengan yang dihadapi Thailand.
Editor: Akil