Nukilan.id – Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hingga saat ini belum disahkan menjadi qanun karena belum adanya hasil fasilitasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Padahal pemberlakuan hukum ini sangat mendesak, khususnya untuk menghukum pelaku dengan lebih berat dan memberikan hak pemulihan bagi korban kekerasan seksual di Aceh.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan “Statistik Kriminal 2023” mencatat Provinsi Aceh menduduki peringkat pertama sebagai provinsi dengan jumlah kasus pemerkosaan tertinggi di Indonesia pada 2023, yaitu sebanyak 135 kasus. Angka ini naik sebesar 23,97 persen atau 65 kasus dari tahun sebelumnya dengan 70 kasus. Posisi kedua ditempati oleh Jawa Barat dengan 114 kasus, kemudian Jawa Timur di peringkat ketiga dengan 106 kasus.
Sementara itu, Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat temuan yang lebih tinggi dibandingkan laporan BPS di atas. Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Aceh membutuhkan perhatian lebih terkait kasus kekerasan seksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh juga menekankan selain menghukum berat pelaku, pemenuhan hak korban juga harus diberikan secara maksimal.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah melakukan pembahasan terkait revisi Qanun Jinayat yang salah satunya untuk merespons maraknya kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual ini. Komisi I DPRA bersama dengan tim tenaga ahli dan Biro Hukum dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh telah merampungkan pembahasan Qanun Jinayat dalam rapat di Gedung DPRA, Selasa (1/11/2022) lalu.
Ketua Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al Farlaky waktu itu mengatakan revisi Qanun Jinayat itu dilakukan untuk memperkuat pasal terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut Iskandar, fokus revisi ini untuk menjawab permasalahan hukuman terhadap pelaku yang selama ini dianggap ringan, bahkan sering diputuskan bebas. Selain itu, revisi ini juga fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seperti pelecehan dan pemerkosaan.
“Revisi ini merumuskan tentang hukuman bagi pelaku dan hak pemulihan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Iskandar dikutip dari laman resmi DPRA, Selasa (1/11/2022).
Dia menambahkan, hak atas pemulihan anak yang menjadi korban selama ini nyaris tidak ada. Padahal menurut Iskandar, hal yang sangat mendesak dan mendasar adalah memberikan hak pemulihan bagi korban sehingga mereka tak menanggung beban secara fisik dan nonfisik secara terus-menerus.
“Hak atas pemulihan sangat penting. Sehingga dengan adanya perubahan ini, anak yang menjadi korban kekerasan seksual harusnya mendapatkan tanggung jawab negara atas pemulihan, baik fisik maupun nonfisik.”
Gagal Disahkan jadi Qanun
Pada Senin (28/11/2022), Raqan Jinayat itu dikirimkan oleh Komisi I DPRA ke Kemendagri RI yang diterima oleh Direktorat Produk Hukum Daerah Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri di Lantai 14 Gedung H Kemendagri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Rombongan Komisi I DPRA dihadiri oleh Ketua Komisi, Iskandar Usman Al Farlaky, anggota Komisi, Samsul Bahri, Dahlan Djamaluddin, Taufik, dan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, EMK Alidar. Komisi I DPRA berharap agar Kemendagri segera memberikan hasil fasilitasi sehingga Raqan Jinayat bisa segera disahkan menjadi qanun.
“Harapan kita bisa diselesaikan pengesahannya akhir tahun ini. Makanya kita minta Kemendagri bisa mempercepat proses fasilitasi ini,” ujar Iskandar dikutip dari Antara, Selasa (29/11/2022).
Menurut Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri, Nyoto Suwignyo, fasilitasi yang dimaksud di sini merujuk pada tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi materi rancangan produk peraturan daerah yang dilakukan oleh menteri dalam negeri kepada provinsi.
Namun, Raqan Jinayat gagal disahkan menjadi qanun karena tidak mendapatkan hasil fasilitasi dari Kemendagri. Dalam rapat paripurna di Gedung DPRA, Kamis (29/12/2022) malam, DPRA hanya bisa mengesahkan lima qanun dari total 12 raqan yang sebelumnya diusulkan.
Kelima qanun tersebut, yaitu Qanun Penyelenggaraan Perpustakaan, Qanun Majelis Pendidikan Aceh, Qanun Cadangan Pangan, Qanun Tata Niaga Komoditas Aceh, dan Qanun Bahasa Aceh. Enam raqan lainnya tidak bisa disahkan menjadi qanun, termasuk salah satunya Raqan Jinayat. Hal ini menjadi kekhawatiran banyak pihak mengingat pentingnya penerapan Qanun Jinayat untuk menghukum jera pelaku dan memberikan perlindungan dan hak pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Hukuman Kumulatif dan Restitusi Korban
Dalam revisi Qanun Jinayat ini, terdapat 12 perubahan pasal, yaitu Pasal 1 angka 27, Pasal 4 ayat (4) dan (5), Pasal 16, Pasal 25 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 67. Selain itu juga terdapat penambahan enam pasal baru, satu angka, dan tiga ayat, yaitu Pasal 1 angka 41, Pasal 33 ayat (1a) dan ayat (2a), Pasal 50A, Pasal 51 ayat (4), Pasal 51A, Pasal 51B.
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Muhammad Qudrat Husni Putra, menjelaskan dalam draf revisi qanun ini terdapat beberapa perubahan. Di antaranya pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dengan pemberlakuan hukuman penjara sebagai hukuman kumulatif, bukan opsional. Jika sebelumnya pilihan hukumannya adalah cambuk, denda, atau penjara, maka dalam versi revisi penjara menjadi wajib yang kemudian ditambah dengan cambuk atau denda.
“Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 juga disebutkan bahwa perkara jarimah pemerkosaan dan pelecehan seksual yang korbannya adalah anak, maka untuk menjamin perlindungan terhadap anak, kepada terdakwa harus dijatuhi uqubat takzir berupa penjara,” ujar Muhammad Qodrat dikutip dari Liputan6, Senin (23/10/2023).
Sementara Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa mengatakan selain hukuman kumulatif penjara, pemberatan hukuman juga diberlakukan bagi pelaku pemerkosaan jika korbannya adalah penyandang disabilitas yang diatur dalam pasal tambahan, yaitu Pasal 50A.
LBH Banda Aceh sendiri merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pembahasan revisi qanun tersebut beberapa waktu lalu bersama Komisi I DPRA, Pemerintah Aceh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Dinas Syariat Islam Aceh, dan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (SatpolPP dan WH).
Selain itu, dalam revisi tersebut juga diatur terkait soal restitusi dan pemulihan korban. Terdapat penambahan Pasal 51B di mana korban yang mengalami perkosaan berhak untuk mendapatkan hak atas pemulihan fisik dan nonfisik.
Aulianda menjelaskan, restitusi di sini dimaksudkan sebagai pengganti kerugian bagi korban dalam bentuk emas murni dengan satuan gram. Besarnya restitusi ini, sambung Aulianda, dalam versi revisi ditentukan oleh kebutuhan korban sendiri dan mengenyampingkan keadaan pelaku. Jika pelaku tak sanggup membayar, maka akan dibebankan kepada negara. Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh dan atau Baitul Mal kabupaten/kota akan memberikan kompensasi kepada korban atau ahli waris korban.
“Inilah yang harus kita perjuangkan. Kita tetap mendesak Kemendagri segera memberikan hasil fasilitasi terhadap revisi Qanun Jinayat agar bisa disahkan menjadi qanun,” ujar Aulianda Wafisa kepada Nukilan.id, Rabu (17/7/2024) lalu. ***
Reporter: Sammy