NUKILAN.id | Banda Aceh — Dunia psikologi modern tak akan pernah sama sejak kelahiran seorang anak lelaki pada 13 April 1901 di Prancis. Namanya Jacques Lacan. Dalam lintasan sejarah pemikiran abad ke-20, Lacan tumbuh menjadi figur yang mengguncang fondasi psikoanalisis klasik. Ia bukan hanya pewaris gagasan Sigmund Freud, tetapi juga pengacau kreatif yang menghidupkan kembali wacana tentang “aku”, tubuh, bahasa, dan keinginan manusia.
Dikutip Nukilan.id dari buku Jacques Lacan: An Outline of a Life and History of a System of Thought, karya Elisabeth Roudinesco, Lacan adalah seorang filsuf yang bermain dengan bahasa, menantang batas-batas pemahaman tentang diri. Salah satu warisan intelektualnya yang paling menggugah dan mendalam adalah konsep “tahap cermin” (mirror stage), sebuah momen psikologis dalam kehidupan bayi yang bagi Lacan merupakan fondasi ilusi kesadaran diri.
Bayi, Cermin, dan Awal dari “Aku”
Sekitar usia enam hingga delapan belas bulan, menurut Lacan, seorang bayi untuk pertama kalinya melihat pantulan dirinya di cermin. Tampaknya sederhana, tetapi bagi Lacan, ini adalah revolusi kecil dalam batin manusia. Saat bayi melihat bayangan tubuhnya yang utuh, ia mulai mengidentifikasi diri dengan citra tersebut. Padahal, tubuhnya sendiri masih terasa terpecah, belum terkendali.
Proses ini melahirkan “aku ideal” — gambaran utuh dan sempurna yang dikagumi bayi, sekaligus menjadi sumber kebanggaan dan keterasingan. Karena yang dilihat bayi bukan dirinya yang sesungguhnya, tetapi sebuah konstruksi visual eksternal. Dari sinilah Lacan menarik kesimpulan mengejutkan: identitas diri manusia pada dasarnya adalah ilusi yang dibentuk oleh relasi dengan yang lain.
Tiga Tatanan Kehidupan
Tak berhenti di tahap cermin, Lacan melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan tiga ranah yang membentuk realitas psikis manusia: Yang Imajinasi, Yang Simbolik, dan Yang Nyata.
-
Yang Imajinasi adalah dunia citra, fantasi, dan identifikasi. Di sinilah tahap cermin berlangsung, tempat kita jatuh cinta pada pantulan diri dan hidup dalam bayangan akan keutuhan yang tak pernah sepenuhnya kita miliki.
-
Yang Simbolik adalah wilayah bahasa, hukum, dan struktur sosial. Manusia yang telah melewati tahap cermin masuk ke dunia simbolik, tunduk pada aturan bahasa dan norma masyarakat. Di sinilah keinginan dibentuk dan dikekang.
-
Yang Nyata, kata Lacan, adalah sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya dilambangkan. Ia adalah celah traumatik, bagian dari kenyataan yang selalu luput dari kata-kata, mengintai di balik struktur bahasa dan tak pernah bisa dikuasai sepenuhnya.
Lebih dari Psikoanalis
Lacan bukanlah psikoanalis konvensional. Kuliah-kuliahnya di Paris antara tahun 1950-an hingga 1970-an berubah menjadi pertunjukan intelektual yang membius sekaligus membingungkan. Ia mengutip Freud dan Shakespeare, berpindah dari matematika ke linguistik struktural, dari filsafat Plato ke puisi modern, semua dalam satu paragraf.
Gagasannya tidak hanya mengguncang dunia psikologi, tetapi juga merembes ke teori sastra, kajian film, feminisme, dan filsafat kontinental. Tokoh-tokoh besar seperti Julia Kristeva, Slavoj Žižek, hingga Judith Butler menjadikan Lacan sebagai bahan bakar intelektual mereka.
Warisan dan Kontroversi
Hingga wafatnya pada 9 September 1981, Jacques Lacan tetap menjadi tokoh kontroversial. Bagi sebagian orang, ia adalah penyelamat psikoanalisis dari kejumudan. Bagi yang lain, ia adalah penyulap kata-kata yang tak bisa dipahami. Namun satu hal pasti, Lacan telah membuka sebuah jalan berpikir baru tentang manusia — bahwa untuk memahami diri, kita harus melihat ke dalam cermin dan menyadari bahwa yang kita lihat mungkin bukanlah kita.
Kini, lebih dari empat dekade setelah kepergiannya, warisan Lacan terus hidup. Di universitas-universitas, forum filsafat, ruang terapi, bahkan dalam pembacaan film dan sastra, namanya tetap menggema. Di balik setiap pencarian akan jati diri, ada jejak cermin Lacan — retak, tapi memantulkan kenyataan yang tak pernah sepenuhnya utuh. (XRQ)
Reporter: AKil