Isu Matahari Kembar: Ketika Silaturahmi Dijadikan Intrik Politik

Share

NUKILAN.id | Opini – Isu soal ijazah palsu yang diarahkan kepada Joko Widodo belum lagi lenyap sepenuhnya dari ruang digital, kini publik kembali digemparkan oleh narasi baru: “matahari kembar”. Isu ini muncul setelah sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju menyambangi kediaman Jokowi di Solo, tepat di saat Presiden terpilih Prabowo Subianto sedang melakukan kunjungan luar negeri. Dalam sekejap, peristiwa itu digiring menjadi polemik politik, seolah-olah Jokowi tengah membangun kekuatan tandingan di luar pemerintahan yang sah.

Metafora “matahari kembar” dalam politik bukanlah istilah baru. Ia merujuk pada kemungkinan munculnya dua pusat kekuasaan yang saling bertabrakan. Dalam konteks Indonesia pasca-Pilpres 2024, narasi ini dimainkan seakan-akan Jokowi enggan mundur dari panggung kekuasaan, sementara Prabowo tengah menata langkah sebagai kepala negara baru. Tapi pertanyaannya, benarkah demikian?

Kunjungan sejumlah menteri ke rumah Jokowi terjadi dalam suasana Lebaran. Secara kultural, peristiwa itu adalah hal yang lumrah dalam tradisi Indonesia. Silaturahmi adalah nilai yang dijunjung tinggi, apalagi antara atasan dan mantan atasan, sesama pejabat negara, apalagi dalam konteks hubungan kerja yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Namun sayangnya, konteks ini justru dikesampingkan oleh sebagian pihak. Media sosial dijejali dengan narasi tendensius, bahkan disertai tudingan bahwa para menteri tersebut mengabaikan etika pemerintahan karena tidak meminta izin kepada Presiden Prabowo sebelum bertemu Jokowi. Beberapa politisi bahkan menyarankan agar pertemuan semacam itu seharusnya dilakukan secara resmi dan terbuka.

Tudingan ini terdengar janggal. Silaturahmi pribadi saat hari raya dimaknai seolah konspirasi kekuasaan. Padahal, dalam sistem presidensial, loyalitas kepada presiden bukan berarti memutus hubungan dengan mantan presiden atau tokoh politik lainnya. Bahkan, menjaga komunikasi lintas tokoh adalah bagian dari etika kebangsaan.

Perlu dicatat, tidak ada tanda-tanda keberatan dari Prabowo terkait pertemuan tersebut. Malah, sejumlah menteri yang hadir telah memberikan klarifikasi. Menteri Pertanian, Sudaryono, menyebut bahwa pertemuan itu membahas hal teknis soal pertanian. Bahlil Lahadalia dari Kementerian Investasi menegaskan bahwa mereka semua tetap berada di bawah komando Presiden Prabowo. Bahkan Ketua DPR, Puan Maharani, dengan tegas mengatakan bahwa matahari hanya satu: Presiden Prabowo Subianto.

Jokowi sendiri akhirnya buka suara. Dengan nada tenang, ia menyebut bahwa tudingan soal “matahari kembar” itu tidak berdasar. “Matahari itu satu. Presiden kita Prabowo Subianto,” katanya, menutup celah spekulasi. Jokowi juga menegaskan bahwa silaturahmi saat Lebaran adalah hal wajar, bukan pertemuan politik yang sarat kepentingan kekuasaan.

Yang menarik, narasi ini muncul setelah upaya sebelumnya untuk menggoyang legitimasi Jokowi lewat isu ijazah palsu gagal total. Maka tak heran jika publik menilai bahwa isu “matahari kembar” adalah lanjutan dari strategi lama: mengguncang lewat opini publik setelah gagal lewat jalur hukum.

Strategi ini bukan barang baru dalam politik. Ketika pendekatan hukum atau administratif tak berhasil, arena opini publik menjadi senjata berikutnya. Tujuannya bukan sekadar menyerang, tapi membangun persepsi negatif dan memperlemah ikatan politik yang sudah terbentuk, dalam hal ini kedekatan Jokowi dan Prabowo.

Namun publik perlu semakin cerdas. Kita tak bisa lagi menjadi korban framing politik yang dangkal dan manipulatif. Demokrasi bukan hanya soal hak suara, tapi juga soal kedewasaan berpikir. Tak semua yang viral di media sosial layak dipercaya. Tak semua narasi yang lantang mencerminkan kebenaran.

Jokowi dan Prabowo selama ini menunjukkan relasi yang stabil. Bahkan dalam banyak hal, visi mereka selaras—baik dalam pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, hingga modernisasi pertahanan. Mengguncang relasi keduanya bukanlah perkara mudah. Terlalu prematur jika ada pihak yang mengira hubungan keduanya bisa digoyang hanya karena pertemuan lebaran yang hangat.

Tantangan terbesar pemerintahan Prabowo ke depan bukanlah Jokowi, melainkan mereka yang mencoba memecah belah lewat spekulasi dan sentimen politik. Pemerintah harus sigap mengantisipasi isu-isu liar semacam ini agar tidak menjadi bola liar yang menggerus kepercayaan publik. Di sisi lain, masyarakat juga harus belajar memilah: mana kritik yang rasional, mana yang hanya permainan persepsi.

Masyarakat perlu bertanya, siapa sebenarnya yang gemar menyebar isu tak berdasar ini? Apa motif mereka? Jika sudah tahu jawabannya, maka jangan beri panggung lagi bagi para pemecah belah bangsa.

Isu “matahari kembar” hanyalah bayangan yang diciptakan oleh mereka yang tak tahan melihat stabilitas politik tetap terjaga. Dan seperti bayangan, ia akan hilang begitu cahaya kebenaran meneranginya. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News