Nukilan.id – Sekretaris Departemen (Sekdep) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Kautsar SHI MH menyatakan, presidential threshold merupakan satu siasat atau seni yang dimainkan para pemimpin partai untuk melabelkan harga partainya di meja oligarki.
“Dengan presidentary threshold, pemimpin-pemimpin partai punya alat untuk berdagang, punya wibawa dan harga,” ujar Kautsar kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (10/4/2022).
Kautsar menjelaskan, presidential threshold atau istilah lainnya “ambang batas presiden” merupakan upaya untuk mengunci supaya calon presiden Indonesia nanti tak perlu ramai-ramai. Sehingga, sejak awal menu dari nama kandidat memang sudah dibatasi.
“Sehebat apapun konsepsi dan elektabitas kita apabila tidak mendapat tiket 20 persen jumlah kursi di parlemen maka si kandidat tersebut tidak bisa melenggang,” jelasnya.
Menurutnya, angka 20 persen benar-benar besar sekali. Bahkan saat ini hanya PDIP satu-satunya partai yang paling mendekati ambang batas tersebut, yaitu 19,33 persen. Sedangkan bagi partai-partai lain harus gotong royong berkoalisi untuk bisa mengusung kandidat presiden.
“Nah, di sinilah yang kemudian terjadi ruang saling mengunci dan bertawar harga, baik dari segi finansial maupun kepentingan-kepentingan lain, termasuk penguasaan jumlah menteri di kabinet, porsi APBN, komisaris dan direksi BUMN dan previlege- previlege negara lainnya,” tuturnya.
Bahkan, lanjut Kautsar, di ruang tersebut para oligarki bermain mengikat. Mengunci dan mengucilkan partai-partai yang ada. Di sini pula, kata dia, pemimpin-pemimpin partai merasa sangat berkepentingan menjaga supaya presidensial threshold selalu ada dalam UU, karena mereka diuntungkan.
Sementara itu, menurut Kautsar, kondisi sulit tentunya kepada partai-partai kecil yang ingin menawarkan calon presiden sesuai dengan suara politiknya. Namun, dengan ambang batas ini mereka terkunci dan dipaksa membebek kepada ketidakbenaran karena semua partai harus turut mengusung presiden tak boleh absen.
“Akan tetapi, di sisi yang lain mereka dikunci dengan ambang batas sehingga partai-partai kecil yang terkunci ini kemudian dipaksa mencalonkan presiden yang mereka sendiri tak suka. Inilah ironinya ambang batas presiden,” pungkasnya. []