Indeks Kebebasan Pers selama Pemerintahan Jokowi

Share

Nukilan.id – Masa jabatan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada bulan Oktober 2024 mendatang. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024, batas waktu peralihan kekuasaan presiden dan wakil presiden akan dilakukan pada Minggu, 20 Oktober 2024, saat presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengucapkan sumpah/janji.

Jokowi ditetapkan sebagai Presiden RI melalui Keputusan KPU Nomor 1185/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VI/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Periode kedua pemerintahannya bersama Ma’ruf Amin ini dimulai sejak Minggu, 20 Oktober 2019 hingga 2024.

Namun, sejumlah aktivis menilai indeks kebebasan pers selama periode kedua pemerintahan Jokowi ini semakin menurun. Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis semakin marak terjadi. Beberapa di antaranya kasus pembakaran terhadap jurnalis di Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan kekerasan terhadap 11 jurnalis yang meliput aksi demonstrasi Kawal Putusan MK beberapa waktu lalu.

Reporters Without Borders (RSF) mencatat Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024. Indonesia memperoleh skor 51,15 atau menurun dari 54,83 pada 2023 lalu. Penurunan ini terjadi nyaris di semua indeks, yaitu indikator politik, indikator ekonomi, indikator legislasi, dan indikator sosial. Indonesia hanya mengalami kenaikan skor pada indikator keamanan saja.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida menilai kondisi kemerdekaan pers sejak Jokowi menjabat sebagai kepala negara masih buruk. Dia menyebutkan selama pemerintahan Jokowi, banyak produk hukum yang cenderung merugikan jurnalis, seperti Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja dan KUHP, dan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran.

“Posisi kita juga belum berubah. Bukan hanya kekerasan, tapi juga banyaknya undang-undang yang bisa dibilang cenderung rentan terhadap jurnalis saat menjalankan tugas-tugasnya seperti UU ITE, draf RUU Penyiaran,” ujar Nani Afrida dikutip dari VOA, Senin (9/9/2024).

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung menyebutkan KKJ mencatat ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2022. Lalu, pada 2023 terdapat 89 kasus kekerasan di mana 97 jurnalis menjadi korban. Begitu pula dengan kondisi di Papua di mana jurnalis dari dalam dan luar negeri tidak diberikan akses untuk meliput langsung kondisi di sana.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin mengatakan ada impunitas kasus kekerasan terhadap jurnalis. Selain itu juga terdapat regulasi-regulasi yang selalu bermunculan dan berpotensi menghambat kebebasan pers sehingga memperburuk kondisi hukum di Indonesia dan penegakannya.

Kontroversi RUU Penyiaran

Revisi RUU Penyiaran mendapatkan kritikan tajam dari organisasi profesi jurnalis, aktivis, dan kalangan masyarakat. RUU ini dinilai akan mengancam kebebasan pers. Salah satu pasal yang paling menjadi sorotan adalah Pasal 50B ayat 2, yaitu larangan untuk menayangkan konten eksklusif investigasi.

Selain itu, terdapat 10 jenis siaran dan konten lainnya yang juga dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah Standar Isi Siaran (SIS). Beberapa di antaranya larangan menayangkan konten yang mengandung unsur mistik, supranatural, dan manipulasi negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Prasetya Utomo menyebutkan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dari RUU Penyiaran ini. Pertama, terkait definisi penyiaran yang diperluas. Kedua, larangan jurnalistik investigasi. Dan ketiga, besarnya wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menindaklanjuti permasalahan jurnalistik.

Dilansir dari The Conversation, Wisnu menjelaskan dengan diperluasnya definisi penyiaran ini akan memunculkan potensi ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di platform digital di tengah banyaknya media alternatif baru yang bermunculan.

Selain itu, besarnya kewenangan yang dimiliki KPI dalam RUU Penyiaran di saat yang sama akan mengebiri peran Dewan Pers, terutama terkait sengketa jurnalistik yang akan mengancam independensi pers Indonesia.

Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama LBH Pers yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil memberikan delapan catatan terkait RUU Penyiaran ini.

Pertama, RUU Penyiaran menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Kedua, RUU ini dinilai bertentangan dengan prinsip tatakelola pemerintahan yang baik.

“Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip good governance,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).

Kemudian ketiga, konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup peluit (whistleblower). Keempat, pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi.

Selanjutnya kelima, SIS dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi. Keenam, ketentuan RUU Penyiaran dinilai tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers.

Ketujuh, RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dan terakhir kedelapan, ketentuan dalam RUU Penyiaran dianggap sebagao bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia.

“Hal ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi–untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” demikian ditulis Koalisi dalam keterangannya.

Kekerasan terhadap Jurnalis

Berbagai bentuk kekerasan dan intimidasi yang dilakukan TNI dan kepolisian menimpa jurnalis yang sedang meliput dalam protes masyarakat dan aksi demonstrasi. Mereka dihalang-halangi dalam bertugas. Teranyar, 11 jurnalis dilaporkan mendapatkan kekerasan dan intimidasi dari kepolisian saat meliput aksi demonstrasi Kawal Putusan MK di Kompleks Parlemen DPR RI, Kamis (22/8/2024) lalu.

Salah seorang jurnalis Tempo berinisial H diduga dipukul oleh personel TNI dan polisi saat meliput demo tersebut. Hal ini berawal saat dia sedang merekam aparat TNI dan polisi yang diduga menganiaya pendemo yang sudah terkulai.

AJI dan LBH Pers mencatat setidaknya sebanyak 11 jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi dari TNI dan polisi saat meliput aksi demo. Ketua Umum AJI, Nani Afrida menyebutkan kekerasan tersebut melibatkan tindakan fisik, ancaman pembunuhan, dan penggunaan kekuatan berlebih seperti gas air mata.

Dia menambahkan bahwa kekerasan fisik, mental, dan psikologis terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh Pasal 4 UU Pers. Hal senada disampaikan oleh perwakilan tim advokasi dan peneliti LBH Pers, Gema Gita Persada. Menurutnya, Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan merupakan tindakan penghalangan hak berekspresi dan pembungkaman terhadap pers.

Wawancara Settingan

Hal terakhir yang menjadi sorotan adalah tudingan bahwa Presiden Jokowi melakukan wawancara settingan. Pernyataan pers tersebut disampaikan dalam bentuk doorstop atau wawancara cegat yang seakan-akan dilakukan bersama wartawan. Padahal jurnalis Istana Kepresidenan tidak terlibat dalam wawancara tersebut.

Hal itu terjadi sebanyak dua kali, yaitu pada saat Jokowi memberikan keterangan terkait putusan MK mengenai ambang batas dan syarat usia pencalonan kepala daerah pada 21 Agustus 2024 lalu.

Seminggu kemudian, pada 27 Agustus 2024, Jokowi kembali memberikan keterangan soal aksi demonstrasi atas pengesahan revisi UU Pilkada oleh DPR dan menagih langkah DPR terkait RUU Perampasan Aset.

Dalam video yang dibagikan di YouTube Sekretariat Presiden pada 21 Agustus 2024 lalu. Di hadapan Jokowi, tampak sejumlah tangan yang menggenggam ponsel hingga mikrofon. Mereka menyodorkan rekaman seperti layaknya para wartawan. Pada mikrofon tersebut tak ada logo televisi atau radio dari media massa.

Selain itu juga tak ada pertanyaan lanjutan dari jurnalis untuk menggali informasi lebih dalam. Ketika wawancara itu dibuat, para jurnalis Istana Kepresidenan masih berada di press room.

Hal ini semakin menguatkan indikasi adanya upaya untuk menghalang-halangi kerja jurnalis untuk mendapatkan konfirmasi langsung dari presiden, terutama terkait aksi demo Kawal Putusan MK yang diduga untuk memuluskan jalan untuk mencalonkan anak bungsunya, Kaesang Pangarep maju di Pilkada Jakarta atau Jawa Tengah.

Belakangan, Istana membantah hal tersebut. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana mengatakan wawancara tersebut bukanlah settingan atau gimik seperti yang banyak dituduhkan.

“Tidak ada gimik apalagi settingan. Bukankah itu dalam rangka memberikan keterangan pers,” ujar Yusuf Permana, dikutip Detik, Jumat (30/8/2024). ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News