NUKILAN.id | Opini – Isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali membuncah di ruang publik. Padahal, isu ini bukan barang baru. Ia telah berulang kali dibantah, bahkan diuji di meja hijau, dan dimenangkan oleh pihak Jokowi. Namun, seperti bara yang tak pernah padam, ada saja pihak-pihak yang terus mengipasinya.
Mengapa isu ini selalu hidup meski telah berkali-kali diklarifikasi? Jawabannya barangkali bukan pada dokumen itu sendiri, melainkan pada kebencian yang telanjur mengakar. Ini bukan soal ijazah semata, melainkan soal ketidaksukaan yang begitu mendalam terhadap sosok Jokowi. Ketika kebencian menjadi landasan, fakta dan kebenaran tak lagi dianggap penting. Yang dibutuhkan hanyalah bahan untuk menyerang, bahkan jika itu sekadar asumsi dan spekulasi murahan.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Arief, sempat mengungkapkan bahwa ada tiga indikator sederhana untuk membuktikan seseorang adalah lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM): ijazah, dokumentasi wisuda, dan skripsi. Menurutnya, cukup satu saja dari ketiganya sebagai bukti. Namun, ketika bukti-bukti itu disodorkan, muncul lagi narasi lain yang mempertanyakan font, tanda tangan, hingga teknis pencetakan ijazah. Ini bukan sikap kritis, ini adalah bentuk perlawanan terhadap kebenaran.
Dahlan Iskan pun pernah bertanya, “Apa gunanya terus mempersoalkan asli tidaknya ijazah Jokowi, ketika ia telah selesai menjabat Presiden dua periode?” Kalaupun ijazah itu benar palsu, toh tidak bisa mengubah apa pun. Jokowi sudah selesai. Semua keputusan yang ia ambil sebagai Presiden tidak bisa dibatalkan begitu saja hanya karena sebuah narasi yang bahkan belum terbukti.
Apakah benar negara ini sedemikian longgarnya sehingga membiarkan seseorang dengan ijazah palsu lolos tiga kali dalam proses pencalonan jabatan publik—Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI? Mustahil. Seluruh proses itu melalui verifikasi berlapis oleh KPUD dan KPU yang bekerja berdasarkan hukum. Jika ada masalah fundamental pada dokumen pencalonannya, tentu akan muncul sejak awal, bukan justru dipertanyakan setelah dua periode kekuasaan berakhir.
Sayangnya, kelompok yang menyebarkan isu ini tak pernah benar-benar mencari kebenaran. Mereka hanya ingin mempertahankan narasi kebencian. Isu ijazah palsu hanyalah bungkus dari propaganda yang lebih besar: mendiskreditkan Jokowi dan semua pencapaiannya.
Dalam kondisi seperti ini, langkah Jokowi menunjuk tim kuasa hukum untuk menghadapi penyebar fitnah adalah keputusan yang tepat. Bukan untuk membungkam kritik, tetapi untuk menjaga kewarasan ruang publik dari disinformasi yang terus menyebar. Demokrasi memang membuka ruang kritik, namun kritik yang sehat berdiri di atas data, bukan desas-desus dan asumsi konspiratif.
Publik harus belajar membedakan antara pernyataan kritis dengan propaganda. Sikap kritis mendorong transparansi, sedangkan propaganda menyebarkan kabut ketidakjelasan. Jika tidak ada bukti hukum yang sah, maka yang beredar hanyalah fitnah.
Masalahnya, narasi konspiratif seperti ini selalu lebih laris di media sosial. Ia mudah menyulut emosi, lebih menggugah rasa penasaran, dan seringkali lebih dipercaya ketimbang klarifikasi resmi. Di sinilah media, intelektual, dan masyarakat sipil harus mengambil peran: menjadi penjernih di tengah keruhnya arus informasi.
Sejumlah teman kuliah Jokowi, termasuk pihak kampus UGM, telah memberikan kesaksian langsung mengenai rekam jejak akademiknya. Mereka bukan sekadar menyatakan bahwa Jokowi kuliah di UGM, tetapi juga mengenalnya secara pribadi. Namun, bagi kelompok pembenci, testimoni itu tak ada artinya. Mereka selalu bisa menemukan celah untuk menebar keraguan.
Dalam kondisi seperti ini, penting bagi publik untuk tak larut dalam isu yang membosankan dan tak produktif ini. Ijazah Jokowi telah diuji, diverifikasi, dan dimenangkan di pengadilan. Tiga kali—dua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan satu di PTUN Jakarta. Bukankah itu cukup?
Jika ada yang masih meragukan, tempuhlah jalur hukum. Buktikan di pengadilan, bukan di komentar media sosial atau video YouTube penuh asumsi. Namun jika tak punya bukti, hentikanlah narasi fitnah itu. Ruang publik yang sehat tak bisa dibangun di atas kebencian dan hoaks.
Kini saatnya publik lebih rasional. Mengedepankan logika daripada emosi. Menyaring informasi, bukan menelan mentah-mentah. Dan yang terpenting, menyadari bahwa politik destruktif tak akan membawa negara ini ke mana-mana, kecuali ke jurang perpecahan dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara.
Isu ijazah palsu Jokowi adalah contoh sempurna dari bagaimana kebencian bisa membutakan akal sehat. Dan satu-satunya cara untuk melawannya adalah dengan kewarasan kolektif. Sebab jika kita membiarkan kebohongan terus mengisi ruang publik, maka kita bukan hanya gagal melindungi kebenaran, tapi juga sedang merusak masa depan demokrasi kita sendiri. (XRQ)
Penulis: Akil