NUKILAN.id | Opini – Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan melalui revisi Undang-Undang KPK pada 2019, penegakan hukum di lembaga ini semakin bergantung pada arah angin politik. Salah satu contoh yang mencolok adalah penanganan kasus suap Harun Masiku yang menyeret nama Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kasus yang lama membeku ini kembali mencuat pada 2024, memunculkan dugaan kuat bahwa proses hukum di KPK lebih ditentukan oleh dinamika politik daripada prinsip keadilan.
Menguak Keterlibatan Hasto
Peran Hasto dalam kasus suap terhadap Wahyu Setiawan, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebenarnya sudah lama terang benderang. Hasto diduga memerintahkan Harun Masiku untuk menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu dengan tujuan memuluskan langkah Harun menjadi anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu. Selain itu, Hasto dituduh menghalangi penyidikan dengan menyembunyikan Harun ketika KPK berusaha menangkapnya.
Namun, ketika penyidik KPK mengajukan Hasto sebagai tersangka, pimpinan KPK saat itu menolaknya. Akibatnya, kasus tersebut membeku, sementara Harun Masiku menghilang bak ditelan bumi. Baru pada 2024, setelah PDIP dan Presiden Joko Widodo berpisah jalan, Hasto ditetapkan sebagai tersangka. Sulit untuk tidak melihat kaitan antara penetapan status tersangka ini dengan perubahan konstelasi politik.
Antara Hukum dan Balas Dendam Politik
Penetapan Hasto sebagai tersangka hanya berselang beberapa hari setelah PDIP menyerang Jokowi secara terbuka. Puncaknya terjadi ketika PDIP menuding Jokowi dan keluarganya mengkhianati partai. Penetapan Hasto sebagai tersangka yang dilakukan tidak lama setelah insiden tersebut menimbulkan spekulasi bahwa hal ini lebih merupakan bentuk pembalasan politik daripada penegakan hukum yang murni.
KPK di bawah kepemimpinan Setio Budianto, seorang polisi aktif berpangkat Komisaris Jenderal, dianggap tunduk pada pengaruh Jokowi. Meski pemilihan komisioner baru dilakukan pada masa pemerintahan Prabowo Subianto, pengaruh Jokowi tetap terasa. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa Kepala Kepolisian Negara, Listyo Sigit Prabowo—orang kepercayaan Jokowi—masih memiliki jaringan kuat di KPK.
KPK yang Terperangkap
Kabar bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka mendapat restu dari istana dan pimpinan komisi hukum DPR hanya mempertegas bahwa proses hukum di KPK lebih sering diperalat untuk kepentingan politik. Praktik hukum yang menjadi alat tawar-menawar kekuasaan seperti ini jelas mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Namun, kritik juga patut diarahkan kepada Hasto. Setelah terimpit kasus, ia baru bersuara lantang tentang dugaan keterlibatan Jokowi dan keluarganya dalam berbagai perkara. Hasto menggunakan ancaman bukti-bukti tersebut sebagai alat negosiasi agar terlepas dari jerat hukum. Manuver seperti ini menunjukkan bahwa konflik elite politik di Indonesia cenderung menghasilkan negosiasi dan kompromi, bukan penegakan hukum yang berlandaskan keadilan.
Menyoal Penegakan Hukum yang Terkapar
Kisah Hasto dan Harun Masiku menjadi cermin buram penegakan hukum di negeri ini. Ketika hukum menjadi alat politik, keadilan menjadi barang mewah yang sulit diraih. Demokrasi dan supremasi hukum sejatinya bisa tumbuh subur jika ada pemisahan yang tegas antara hukum dan politik. Sayangnya, di Indonesia, keduanya sering kali bertemu dalam ruang tawar-menawar yang kotor.
Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh kita semua adalah: sampai kapan hukum akan terus terjebak dalam comberan politik? Selama elite terus menggunakan hukum sebagai senjata politik, harapan akan hadirnya keadilan yang sejati hanya akan menjadi angan-angan. (xrq)
Penulis: Akil