Hikayat Aceh: Menyuarakan Kembali Kekayaan Sastra Tradisional

Share

NUKILAN.id | Feature – Dalam debur ombak yang tak pernah lelah mencumbu pantai Aceh, dalam gemuruh hutan Leuser yang menjadi rumah bagi makhluk langka, dan dalam suara azan yang menggema dari menara-menara masjid, tersimpan sebuah kisah panjang yang meresap dalam hati masyarakatnya. Kisah itu hidup dalam hikayat—sastra lisan yang menjadi penjaga ingatan kolektif.

Aceh adalah negeri hikayat. Setiap kata yang diucapkan, setiap bait yang dinyanyikan, mengandung riwayat perjuangan, cinta, dan keimanan. Ia bukan sekadar hiburan masa lampau, melainkan jembatan yang menghubungkan generasi, sebuah warisan yang kini kembali berjuang untuk didengar.

Pagi itu, aku duduk di sebuah panggung kecil di pelosok Aceh Besar, di mana seorang lelaki tua, Teungku Ibrahim, memulai lantunan hikayat. Suaranya berat, tetapi ada nada magis yang memikat. Ia memegang rampoe, alat musik sederhana yang memberi ritme pada ceritanya.

“Hana beuleun hana taloe, leun teunasa hana bulee.”

Bait pembuka itu terdengar seperti mantra. “Tidak ada bulan, tidak ada bayangannya, tanpa pengorbanan tidak ada hasil,” demikian kira-kira terjemahannya. Bait-bait hikayat sering kali berlapis makna, mengajarkan kebijaksanaan hidup sambil memanjakan imajinasi.

Hikayat yang dibawakan Teungku Ibrahim berkisah tentang Malem Dagang, seorang pahlawan Aceh yang gigih melawan penjajah. Ceritanya melintasi batas antara sejarah dan legenda, dengan kehadiran makhluk gaib yang membantu perjuangannya.

“Dulu, hikayat adalah cara kami belajar tentang dunia,” kata Teungku Ibrahim usai pementasan. “Ia mengajarkan keberanian, kebijaksanaan, dan cinta kepada tanah air.”

Naskah Hikayat Aceh tertua dan paling lengkap koleksi Universitas Leiden, Belanda. Foto: Perpustakaan Universitas Leiden

Sejarah Aceh tidak bisa dipisahkan dari hikayat. Pada masa kerajaan, hikayat menjadi alat penting dalam menyebarkan ajaran Islam. Para ulama menggunakan kisah-kisah ini untuk menyampaikan pesan moral dan keagamaan kepada masyarakat.

Salah satu hikayat yang paling terkenal adalah Hikayat Perang Sabil, sebuah karya epik yang menggambarkan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda. Bait-baitnya penuh semangat jihad, menggerakkan jiwa para pejuang untuk mempertahankan tanah mereka.

Namun, hikayat tidak hanya berkisar tentang perang. Ada juga Hikayat Malem Diwa yang bercerita tentang cinta dan pengorbanan, atau Hikayat Raja-raja Pasai yang merekam sejarah dan mitologi kerajaan pertama di Nusantara yang memeluk Islam.

Di setiap baitnya, hikayat mengajarkan bahwa Aceh adalah negeri dengan kekuatan batin yang luar biasa. Ia adalah penjaga identitas, melindungi nilai-nilai budaya di tengah arus modernisasi.

Meski kaya akan nilai sejarah dan budaya, tradisi hikayat perlahan memudar. Generasi muda Aceh semakin jarang mendengar atau menyaksikan hikayat. Kehadiran teknologi modern, dengan segala gemerlapnya, telah menggeser posisi seni lisan ini.

Namun, tidak semua hilang. Di beberapa desa, seperti Pidie dan Aceh Utara, masih ada orang-orang seperti Teungku Ibrahim yang berjuang mempertahankan hikayat. Mereka mengajarkan seni ini kepada anak-anak, berharap ada yang melanjutkan jejak mereka.

“Ini bukan hanya soal mempertahankan tradisi,” kata Teungku Ibrahim. “Hikayat adalah napas kami, ia menghidupkan sejarah dan jiwa Aceh.”

Upaya pelestarian juga datang dari komunitas seni dan akademisi. Festival sastra dan seminar tentang hikayat mulai diadakan untuk memperkenalkan kembali tradisi ini kepada khalayak yang lebih luas.

Menyuarakan Kembali Hikayat

Di Banda Aceh, aku bertemu dengan seorang seniman muda bernama Faisal yang mencoba menghadirkan hikayat dalam format baru. Ia menciptakan musik modern dengan lirik-lirik yang diambil dari bait hikayat klasik.

“Saya ingin generasi muda menyadari bahwa hikayat bukan sesuatu yang kuno,” katanya. “Ia relevan dengan kehidupan kita hari ini.”

Salah satu karyanya, sebuah lagu yang terinspirasi dari Hikayat Perang Sabil, memadukan irama rampoe dengan alat musik modern. Ketika Faisal memainkannya, aku bisa merasakan semangat yang sama seperti saat mendengar hikayat dibawakan secara tradisional.

Faisal juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan hikayat. Video pendek yang menampilkan dirinya melantunkan hikayat mendapat sambutan hangat dari netizen. “Ini adalah cara saya menyuarakan kembali hikayat, agar tidak tenggelam dalam kesunyian,” katanya.

Ketika mendengarkan hikayat, aku menyadari bahwa ia bukan sekadar cerita. Ia adalah cerminan nilai-nilai yang masih relevan hingga kini: keberanian, kesetiaan, dan cinta kepada sesama.

Di tengah dunia yang semakin individualistis, hikayat mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan. Di dalam bait-baitnya, ada ajakan untuk menjaga harmoni dengan alam, menghormati leluhur, dan merawat warisan budaya.

“Hikayat mengajarkan kita untuk tidak melupakan asal-usul,” kata Faisal. “Karena dari sana, kita bisa menemukan arah untuk masa depan.”

Aceh, Negeri yang Bersyair

Sebelum meninggalkan Aceh, aku menghadiri sebuah pertunjukan hikayat di tepi pantai. Bulan purnama bersinar terang, dan suara ombak menjadi latar alami bagi nyanyian sastra itu.

Seorang perempuan muda membawakan Hikayat Malem Diwa. Suaranya melengking indah, menggambarkan perasaan rindu dan pengorbanan dalam cerita itu. Aku melihat penonton, dari anak-anak hingga orang tua, mendengarkan dengan takzim.

Malam itu, aku merasa bahwa hikayat bukan sekadar tradisi. Ia adalah jiwa yang menghidupkan Aceh. Setiap baitnya adalah napas, setiap ceritanya adalah darah yang mengalir di nadi masyarakatnya.

Aceh, dengan segala kekayaan budayanya, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga hikayat tetap hidup. Ia bukan hanya warisan lokal, tetapi juga bagian dari sejarah dunia yang kaya akan sastra lisan.

Hikayat Aceh adalah pelajaran tentang kekuatan kata-kata, tentang bagaimana cerita bisa membangun dan mempertahankan identitas. Ia adalah bukti bahwa seni bisa melampaui waktu, menjadi penghubung antara generasi, dan menyuarakan kebenaran yang universal.

Perjalanan ini mengajarkanku bahwa melestarikan hikayat bukan hanya tugas para seniman dan budayawan, tetapi tugas kita semua. Karena di dalam setiap baitnya, ada kisah kita, ada jiwa kita. Dan selama ada yang mendengar, hikayat akan terus hidup, mengalun indah di Serambi Mekkah. 

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News