NUKILAN.id | Opini – Sidang perdana Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, akhirnya digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 14 Maret 2025. Sidang ini menjadi babak baru dalam proses hukum yang sempat terhambat akibat penolakannya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasto menghadapi dua dugaan serius: suap dan perintangan penyidikan, yang berkaitan dengan mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, serta buronan KPK, Harun Masiku, yang hingga kini masih dalam pencarian.
Sebagai tokoh politik berpengaruh, kasus yang menjerat Hasto tak lepas dari sorotan publik. PDIP sendiri telah berupaya membela Hasto dengan mengajukan praperadilan guna menggugurkan status tersangkanya. Namun, upaya ini kandas setelah Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Juyamto, menolak permohonan tersebut pada 13 Februari 2025. Putusan hakim menegaskan bahwa status tersangka yang disematkan kepada Hasto sah secara hukum, dan proses peradilan harus tetap berlanjut.
Namun, yang menarik dari kasus ini bukan sekadar substansi dakwaan terhadap Hasto, melainkan juga bagaimana PDIP memainkan strategi politik dalam menyikapinya. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, secara terbuka menginstruksikan kader-kadernya untuk turun ke masyarakat dan memberikan dukungan penuh kepada Hasto. Instruksi ini bukan sekadar bentuk solidaritas, melainkan juga strategi politik untuk membangun narasi bahwa Hasto adalah korban kriminalisasi.
Strategi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah benar Hasto sedang dikriminalisasi, atau ini hanya upaya membangun citra untuk mengalihkan opini publik? Soliditas partai dalam menghadapi kasus ini tentu bisa dimaklumi, namun ketika dukungan itu terorganisir secara terbuka, dampaknya bisa merugikan citra hukum di Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa opini publik sengaja diarahkan untuk menekan lembaga peradilan, sehingga independensi hukum menjadi taruhannya.
Sebagai partai besar yang memiliki pengaruh politik kuat, PDIP tentu ingin menjaga nama baiknya. Namun, membingkai kasus hukum sebagai agenda politik justru bisa berdampak negatif. Masyarakat bisa menilai bahwa ada upaya mengintervensi proses hukum demi kepentingan politik. Hal ini bisa semakin mengikis kepercayaan publik terhadap independensi peradilan, terutama di tengah isu bahwa hukum kerap tebang pilih dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan elite politik.
Dalam konteks ini, Hasto seharusnya tidak membangun narasi bahwa dirinya adalah korban kriminalisasi, melainkan menghadapi persidangan dengan transparan dan jujur. Jika ia benar tidak bersalah, pengadilan akan membuktikannya. Namun, jika terbukti bersalah, hukum harus tetap ditegakkan tanpa ada tekanan politik yang berusaha mengaburkan kebenaran.
Narasi kriminalisasi yang kerap dimainkan oleh para politisi yang terjerat kasus hukum sesungguhnya hanya menciptakan kebingungan di tengah masyarakat. Jika setiap tokoh yang diproses hukum selalu mengklaim dirinya sebagai korban politik, lalu bagaimana hukum bisa benar-benar tegak? Drama politik semacam ini hanya membuat publik semakin skeptis terhadap integritas sistem peradilan di Indonesia.
Pada akhirnya, yang diinginkan rakyat bukanlah narasi dramatis yang dimainkan di panggung politik, melainkan proses hukum yang adil, transparan, dan bebas dari intervensi politik. Jika Hasto memang tidak bersalah, maka fakta-fakta persidangan akan membuktikannya. Sebaliknya, jika ia terbukti bersalah, hukum harus ditegakkan tanpa kompromi. Independensi hukum adalah pilar utama dalam demokrasi, dan ia tidak boleh diganggu oleh permainan politik, siapa pun pelakunya. (XRQ)
Reporter: Akil