Monday, April 29, 2024

Hasil Penelitian Tren Pernikahan di Bawah Umur 19 Tahun di Aceh

Nukilan.id – Pada  periode Oktober – Desember 2023, Flower Aceh melaksanakan Penelitian Aksi Partisipatif Feminis ” Identifikasi Perubahan Tren Perkawinan Usia dibawah 19 tahun Paska UU Nomor 16/ 2019 dan di Masa Covid 19 di Perdesaan dan Miskin Kota Daerah 3 T di Pulau Sumatera” di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Aceh Besar. Hasil penelitian ini dipaparkan pada Senin (22/1/2024) di Ivory Caffe yang juga ikut dihadiri tim Nukilan.id.

Berdasarkan penelitian tersebut, tim peneliti Flower Aceh telah menyusun laporan penelitian tingkat kabupaten yang memuat data dan temuan hasil observasi, FGD serta wawancara mendalam dengan narasumber penelitian yang telah ditentukan yang disusun dalam draf laporan penelitian tingkat kabupaten. Sebagai tindak lanjut dari proses penelitian yang direncanakan, maka penting dilaksanakan Lokakarya hasil penelitian FPAR tingkat Kabupaten.

Tujuannya untuk mengkonfirmasi, mendapatkan umpan balik, menghasilkan data, dan temuan yang lengkap serta memperkuat partisipasi narasumber. Hasil penelitian diharapkan menjadi basis untuk dapat bergerak bersama dalam program pencegahan dan penanganan korban perkawinan di bawah umur 19 tahun di wilayah masing-masing.

Lokakarya ini  juga menjadi ruang koordinasi dan peningkatan pengetahuan dalam menganalisis hasil penelitian secara partisipatoris serta menguatkan kesadaran dan keterampilan peserta untuk terlibat aktif dalam program pencegahan dan penanganan korban perkawinan 19 tahun di kabupaten dan provinsi.

Untuk mengenali hasil-hasil penelitian tingkat kabupaten, mendiskusikan studi kasus, dan temuan data lainnya Flower Aceh bersepakat untuk terlibat aktif dalam program pencegahan dan penanganan korban perkawinan di bawah 19 tahun di kabupaten dan provinsi.

Adapun pihak yang terlibat dalam penelitian ini diantaranya perempuan muda, perempuan dewasa, korban perkawinan anak, orang tua korban, tokoh adat, tokoh agama, aparatur desa, pemerintah ( geuchik, Dinkes, DPPPA, KUA, Mahkamah Syariah, dan Akademisi)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah ≤19 tahun disebabkan nilai-nilai budaya, penggrebekan, pemukulan, penghakiman masa, dan pemaksaan perkawinan bagi pasangan yang tertangkap basah berzina atau pacaran. Sementara itu, faktor lain penyebab pernikahan di bawah 19 tahun, yakni hamil di luar nikah, anak broken home, faktor ekonomi, putus sekolah sehingga dengan menikah dianggap dapat meringankan beban orangtua.

Kemudian, dampak yang terjadi juga banyak, seperti KDRT, masalah psikis, gangguan reproduksi yang berisiko kematian ibu dan bayi, putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah, merasa malu melanjutkan sekolah, masalah ekonomi, seperti penghasilan yang tidak cukup, kemiskinan, atau hutang, beban ganda, yaitu harus mengurus rumah tangga dan anak, sementara suami tidak memberikan dukungan.

Selanjutnya stigma, bullying, cemooh, atau dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar norma atau agama. Tidak hanya itu, ada juga stunting, membebani orang tua, perceraian, susah mendapatkan pekerjaan, pola asuh anak yang salah, menjadi korban prostitusi anak (open BO), penelantaran, faktor kesehatan, pemerkosaan dalam perkawinan, faktor teman sebaya, dan replikasi perkawinan anak di Aceh Besar (tradisi menikah muda).

Selanjutnya, bentuk upaya pencegahan, pertama edukasi sekolah mulai dari usia dini yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak tentang hak- hak mereka, termasuk hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Kedua, informasi tentang dampak negatif perkawinan anak bagi kesehatan reproduksi (HKSR), psikologis, dan sosial anak ( guru, siswa, dan orang tua). Ketiga, sosialisasi ke desa-desa terkait UU Nomor 16 tahun 2019 tentang batas usia pernikahan.

Keempat, sosialisasi pencegahan dengan sosialisasi qanun jinayah. Kelima, meminta tokoh agama ikut mengedukasi para penyuluh untuk tidak terlibat menikahkan anak seperti nikah siri(memberatas kadi liar). Keenam, pentingnya mengikuti pendidikan catin yang terintegrasi, termasuk memuat materi edukasi tentang pencegahan KTPA kespro, HKSR, dan positif parenting.

Dalam paparan tersebut, Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati mengatakan, sebenarnya perempuan yang punya pertahanan kuat juga bisa ikut terlibat dalam sebuah penelitian seperti ini. Artinya, lintas pihak atau stakehoulder juga ikut berpartisipasi, jadi bukan hanya perempuan di komunitas saja, tetapi ada kepala desa, pemerintah, dan lainnya.

“Semoga proses ini banyak catatan dan masukan untuk para peneliti, kita juga sudah memetakan stakeholder yang terkait untuk mempertajam analisa penelitian,” ucapnya.

Ia menyampaikan, pencegahan juga perlu, seperti forum anak sarana yang mengedukasi risiko yang mungkin akan terjadi. Stakeholder dan dana juga penting untuk membangun strategi kasus-kasus perempuan, apalagi kasusnya tinggi, tetapi dananya masih minim.

“Tanggapan dari berbagai pihak akan menjadi rekomendasi dan mempertajam penelitian ini,” pungkasnya. [Auliana Rizky]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img