NUKILAN.ID | OPINI – Pada satu titik sejarah, oligarki tak lagi bersembunyi di balik layar. Ia mulai menampakkan wajahnya yang sebenarnya: ikut menata panggung politik, menyusun strategi kekuasaan, dan bahkan menentukan siapa yang layak duduk di singgasana kekuasaan. Andi Syamsuddin Arsyad, atau yang lebih dikenal sebagai Haji Isam, adalah representasi paling mutakhir dari kenyataan itu.
Dua dasawarsa lalu, Isam hanyalah seorang sopir truk di Batu Licin, Kalimantan Selatan. Hari ini, ia menjadi pengusaha tambang dan pemilik konglomerasi John Group, dengan jejaring bisnis yang merambah pengangkutan, konstruksi, dan industri strategis lainnya. Perjalanan bisnisnya memang layak dikagumi. Namun, yang lebih menarik adalah bagaimana ia perlahan-lahan merancang jalur menuju pusat kekuasaan politik nasional.
Pada Mei 2025, Isam tampak mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan Bill Gates di Istana Presiden. Tak lama sebelumnya, pada akhir 2024, ia juga hadir ketika Prabowo menjamu investor Jepang. Kedekatannya dengan elite politik bukan sekadar kebetulan. Dalam dua pemilu sebelumnya, Isam adalah penyokong Joko Widodo. Kini, saat arah angin politik berbalik, ia dengan cekatan mendukung Prabowo. Inilah naluri politik seorang calon oligark: tahu kapan harus berpindah perahu, dan kepada siapa tali tambang harus diulur.
Tak hanya itu, Isam juga diketahui berpartisipasi dalam proyek food estate di Merauke, bahkan sebelum pembagian kementerian baru ditetapkan. Ia mendatangkan 2.000 ekskavator dari Cina untuk membuka lahan. Langkahnya begitu cepat, mendahului kebijakan formal, seakan menunjukkan bahwa kekuasaan bisa diciptakan lebih dulu melalui sumber daya—baru kemudian dibingkai dalam legitimasi aturan.
Namun, di balik manuver bisnis dan politiknya, terdapat satu kekuatan yang tak bisa diabaikan: kemurahan hati. Isam dikenal dermawan, terutama kepada pejabat—baik kepala daerah, menteri, bahkan presiden. Dalam politik transaksional Indonesia, kemurahan hati adalah investasi jangka panjang. Tidak semua bantuan harus dikukuhkan dalam kontrak atau perjanjian; cukup satu kesepahaman implisit: “aku bantu sekarang, engkau beri jalan kemudian.”
Dengan modal kedermawanan, Isam kini tengah menyusun langkah strategis berikutnya: masuk ke partai politik. Isyarat itu muncul dengan dukungannya terhadap sepupunya, Andi Amran Sulaiman—pengusaha asal Makassar yang kini menjadi Menteri Pertanian—untuk maju sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada September 2025 mendatang. Tujuannya jelas: memperkuat posisi tawar menjelang Pemilu 2029.
Langkah ini bukan tanpa perhitungan. PPP sedang limbung, gagal melampaui ambang parlemen pada Pemilu 2024 dengan hanya meraih 3,87 persen suara. Konflik internal pun membuat partai ini kesulitan mencari figur dan pemodal kuat. Di sinilah Isam melihat peluang. Dengan masuk melalui jalur keluarga, ia bukan hanya menyelamatkan partai tua ini dari kebangkrutan politik, tetapi juga menyiapkan kendaraan yang sah untuk memengaruhi kebijakan dari dalam sistem.
Langkah ini sekaligus menunjukkan satu kenyataan getir dalam politik Indonesia: tanpa partai, kekuasaan bersifat rapuh. Presiden Joko Widodo menjadi contoh telanjang. Tanpa memiliki partai sendiri, ia kini menggantungkan masa depan politiknya pada Prabowo, mantan rival yang kini menjadi sekutu. Sebaliknya, tokoh seperti Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono tetap memiliki pengaruh karena memimpin partai besar.
Apa yang diperlihatkan Isam adalah bagaimana kekuasaan tidak hanya dikejar lewat jabatan publik, tetapi juga lewat pengaruh terhadap kebijakan dan struktur partai. Dalam Kabinet Merah Putih bentukan Prabowo yang akan berjalan Oktober 2024, Isam disebut menempatkan empat orang dekatnya di pos strategis: Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, dan Menteri Perdagangan. Beberapa sumber bahkan menyebut adanya tambahan posisi wakil menteri untuk kelompoknya.
Fenomena ini menegaskan bahwa demokrasi elektoral kita sedang dikepung oleh kekuatan modal yang makin tak terbendung. Kita menyaksikan sebuah sistem yang membolehkan segelintir orang dengan kekuatan ekonomi luar biasa untuk membentuk arah politik, menentukan kebijakan, bahkan memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin.
Bukan berarti tidak ada harapan. Namun, memperbaiki sistem pemilu dan partai politik tidak cukup. Pembatasan dana kampanye dan transparansi pembiayaan politik harus diperketat. Tetapi lebih dari itu, kita membutuhkan gerakan sosial-politik yang kuat, yang membangkitkan kesadaran warga negara akan pentingnya menjaga ruang demokrasi dari infiltrasi kepentingan modal besar.
Gerakan kewarganegaraan yang berkelanjutan adalah satu-satunya benteng terakhir ketika hukum, sistem kepartaian, dan moral elite tak lagi memadai untuk menjaga demokrasi. Kita harus kembali menegaskan bahwa politik bukan hanya milik para pemodal, melainkan hak setiap warga negara. Sebab ketika politik hanya dijalankan oleh mereka yang punya uang, maka demokrasi tak lebih dari pasar kekuasaan—tempat suara rakyat dibeli, dan kebijakan negara diperjualbelikan. (XRQ)
Penulis: Akil