NUKILAN.ID | TAPAKTUAN — Koordinator Wilayah Barat Yayasan P2TP2A Rumoh Putroe Aceh, Gusmawi Mustafa, mengimbau pasangan suami istri untuk menyikapi pertengkaran rumah tangga secara bijak dan tidak mengambil keputusan emosional, termasuk meninggalkan rumah, selama tidak berada dalam kondisi yang membahayakan keselamatan jiwa.
Menurut Gusmawi, konflik dalam rumah tangga merupakan hal yang wajar dan menjadi bagian dari perjalanan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. Namun, konflik tersebut seharusnya dihadapi dengan ketenangan dan kebijaksanaan.
“Pertengkaran dalam rumah tangga adalah ujian. Namun rumah juga seharusnya menjadi tempat kembali untuk menenangkan hati, bukan tempat yang ditinggalkan saat emosi belum terkendali,” ujar Gusmawi, Kamis (18/12/2025).
Ia menjelaskan, pertengkaran sering kali disertai luapan emosi yang membuat nalar dan pertimbangan rasional tidak bekerja optimal. Dalam situasi tersebut, keputusan untuk keluar rumah justru berpotensi memperbesar masalah dan memicu penyesalan di kemudian hari.
Selain itu, Gusmawi menilai tetap berada di rumah pasca konflik juga berkaitan dengan menjaga kehormatan dan martabat keluarga. Ia mengingatkan, istri yang keluar rumah tanpa tujuan jelas, terlebih pada malam hari, dapat memunculkan fitnah dan prasangka di tengah masyarakat.
“Kadang yang dibutuhkan bukan pergi jauh, tapi diam sejenak. Dalam diam itulah hati bisa ditenangkan, ego bisa diturunkan, dan pintu musyawarah kembali terbuka,” katanya.
Dari sisi psikologis, Gusmawi menyoroti dampak pertengkaran orang tua terhadap anak. Anak yang menyaksikan salah satu orang tuanya meninggalkan rumah saat konflik berisiko mengalami rasa tidak aman dan ketakutan yang membekas dalam jangka panjang.
Ia juga menekankan aspek keselamatan. Menurutnya, keluar rumah dalam kondisi emosi memuncak, terutama pada malam hari, meningkatkan risiko kecelakaan serta kerentanan terhadap gangguan dari pihak luar.
Meski demikian, Gusmawi menegaskan imbauan tersebut bukan larangan mutlak dan tidak boleh dimaknai sebagai upaya menekan atau menzalimi perempuan. Dalam kondisi tertentu, keselamatan istri justru harus menjadi prioritas utama.
“Jika terjadi kekerasan fisik, kekerasan verbal berat, ancaman keselamatan, kekerasan seksual, atau intimidasi psikologis, maka istri tidak hanya boleh, tetapi harus menyelamatkan diri,” tegasnya.
Dalam situasi tersebut, P2TP2A Rumoh Putroe Aceh menganjurkan agar istri segera keluar rumah dan mencari perlindungan, baik kepada keluarga, aparat penegak hukum, Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, maupun lembaga perlindungan perempuan lainnya.
“Keselamatan jiwa adalah harga yang tak bisa ditawar. Tidak ada keutuhan rumah tangga yang dibenarkan jika dibangun di atas rasa takut dan kekerasan,” tambah Gusmawi.
Ia berharap masyarakat dapat memahami imbauan ini secara arif dan berimbang. Menurutnya, tujuan utama bukan membatasi ruang gerak perempuan, melainkan mencegah keputusan emosional, menjaga keselamatan, menghindari fitnah, serta membuka ruang dialog dan perdamaian dalam keluarga.
“Rumah tangga adalah amanah. Ketika konflik datang, mari menjadikannya momentum untuk saling memperbaiki, bukan saling meninggalkan. Selama masih ada ruang aman, keutuhan keluarga patut diperjuangkan dengan hati, kesabaran, dan dialog,” pungkasnya.





