Gusmawi Msutafa: Penegakan Syari’at Islam di Aceh Perlu DOKA dan Dukungan Lintas Sektor

Share

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Penegakan Syari’at Islam di Aceh dinilai masih menghadapi banyak kendala, meskipun kerangka hukum dan regulasi telah tersedia lengkap melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta sejumlah Qanun.

Hal tersebut disampaikan oleh Gusmawi Mustafa dalam tulisannya berjudul Penegakan Syari’at Islam di Aceh: Antara Regulasi dan Realita.

Menurutnya, Aceh sebenarnya memiliki landasan hukum yang kuat. UUPA memberi kewenangan khusus dalam menjalankan Syari’at Islam, yang dipertegas lewat Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, serta Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

“Di atas kertas, sudah ada Wilayatul Hisbah (WH) sebagai pengawas, Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan, MPU sebagai lembaga ulama pemberi fatwa, hingga Dinas Syariat Islam sebagai pelaksana. Namun implementasi di lapangan masih jauh dari harapan,” tulisnya.

Gusmawi menyoroti lemahnya fungsi kontrol antarinstansi. Menurutnya, sejumlah kasus kerap lamban ditangani akibat koordinasi yang tidak berjalan mulus.

“Kadang WH bergerak, tetapi tindak lanjut lainnya tidak berjalan optimal. Bahkan putusan Mahkamah Syar’iyah terlambat dieksekusi,” jelasnya.

Selain koordinasi, minimnya anggaran juga menjadi hambatan serius. Penegakan Syari’at, katanya, tidak hanya sebatas razia, tetapi juga mencakup edukasi, penyidikan, proses hukum, hingga pembinaan pasca-putusan.

“Realitanya, pos anggaran untuk Syari’at Islam sering kali belum seimbang dengan beban kerja yang ada,” ungkap Gusmawi.

Ia menekankan pentingnya pengalokasian Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) secara lebih optimal. Selama ini, kata dia, DOKA lebih banyak diarahkan untuk pembangunan fisik, sementara penegakan Syari’at Islam masih mendapatkan porsi kecil.

“Jika pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berani mengarahkan DOKA secara maksimal untuk Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan Dayah, Baitul Mal, MPU, Majelis Pendidikan Daerah, Wilayatul Hisbah, serta Majelis Adat Aceh, itu adalah bukti nyata bahwa keistimewaan Aceh di bidang Syari’at benar-benar mendapat perhatian khusus,” tegasnya.

Dalam pandangannya, ulama dan dayah (pondok pesantren) juga memiliki peran yang sangat vital. Ulama dianggap sebagai rujukan moral dan legitimasi, sedangkan dayah menjadi pusat kaderisasi generasi muda.

“Apabila ulama dan dayah dilibatkan lebih kuat, tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai motor edukasi, advokasi, hingga pengawasan sosial, maka penegakan Syari’at akan lebih menyentuh hati masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya keberanian politik dan kolaborasi lintas sektor. Menurut Gusmawi, penegakan Syari’at tidak bisa berjalan efektif bila hanya mengandalkan satu lembaga.

“Perlu ada duduk bersama antara pemerintah, ulama, akademisi, pelaku usaha, tokoh adat, LSM, hingga masyarakat sipil untuk menggali persoalan, memetakan potensi, dan merumuskan solusi,” jelasnya.

Ia menambahkan, pendekatan tersebut menuntut perencanaan yang menyeluruh dan komprehensif.

“Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan sejak awal, Syari’at Islam di Aceh bisa ditegakkan secara konsisten, adil, dan sesuai semangat kebersamaan,” tulisnya.

Di akhir tulisannya, Gusmawi menegaskan bahwa Syari’at Islam adalah identitas sekaligus amanah sejarah bagi Aceh.

“Penegakannya harus adil, konsisten, dan transparan. Jika semua pihak bergandengan tangan, maka Syari’at Islam di Aceh tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga solusi bagi kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat,” tutupnya. (XRQ)

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News