NUKILAN.id | Banda Aceh – Fenomena pemilih golongan putih atau golput kembali menjadi sorotan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Di Aceh, data real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan angka golput sebesar 23,41 persen. Keputusan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, baik dengan tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) maupun merusak surat suara, dianggap memiliki dampak signifikan terhadap hasil pemilihan.
Sejumlah warganet di media sosial, khususnya platform X (dulu Twitter), mengkritik sikap golput. Mereka menilai tindakan tersebut justru memperbesar peluang pasangan calon (paslon) pro-rezim berkuasa untuk memenangkan kontestasi politik.
“Golput nggak bikin pejabat akhirnya diduduki oleh orang yang benar. Golput nggak bikin mereka kehilangan kesempatan buat dzalim ke kita. Terus apa gunanya ekspresi kekecewaan lewat golput?” tulis akun @zey***, Rabu (27/11/2024).
Lantas, benarkah golput lebih banyak menguntungkan paslon pro-rezim berkuasa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nukilan.id menghubungi Koordinator Lab Demokrasi, Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon. Menurutnya, meski tidak banyak bukti konkret yang dapat menyimpulkan secara langsung, realitas politik menunjukkan bahwa paslon yang dekat dengan rezim berkuasa cenderung lebih mudah meraih kemenangan.
“Paslon pro-rezim biasanya mendapat dukungan penuh dari elit politik dan memiliki logistik yang memadai. Hal ini membuat peluang mereka menang lebih besar,” jelas Bryan, Jumat (29/11/2024).
Ia menambahkan, dalam situasi di mana golput dijadikan sebagai bentuk kekecewaan atau simbol perlawanan tanpa konsolidasi yang kuat, efeknya justru kontra-produktif.
“Ketika partisipasi pemilih rendah, persentase suara untuk menang menjadi lebih kecil. Akibatnya, paslon pro-rezim memiliki peluang lebih besar untuk melanggengkan kekuasaan mereka,” lanjutnya.
Beragam pandangan muncul terkait fenomena ini. Sebagian warga menilai golput sebagai bentuk protes atas ketidakpuasan terhadap kualitas paslon, sementara yang lain menganggapnya sebagai tindakan tidak bertanggung jawab.
“Memang susah kalau nggak ada pilihan bagus. Tapi kalau golput, artinya kita kasih kesempatan kepada mereka yang kita nggak suka untuk menang,” ujar Rian, warga kota Banda Aceh, saat ditemui di kawasan Kuta Alam.
Pilkada 2024 menjadi ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Tingginya angka golput berpotensi mencerminkan rendahnya kepercayaan publik terhadap proses politik. Namun, efek domino dari pilihan ini dapat memengaruhi peta kekuasaan di berbagai daerah. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah