NUKILAN.id | Banda Aceh – Dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) 2025, Gerakan Antikorupsi (GERAK) Aceh menggelar diskusi bertajuk Mempercepat Aksi Bersama untuk Kesetaraan Gender di Kai Kupi, Banda Aceh. Acara ini menjadi momentum penting dalam menggalang kesadaran dan komitmen bersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Kegiatan ini menghadirkan berbagai tokoh inspiratif, termasuk aktivis perempuan, perwakilan pemerintah Kota Banda Aceh, serta organisasi masyarakat sipil. Diskusi yang berlangsung hangat ini menyoroti berbagai tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam memperoleh kesetaraan di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga partisipasi politik.
Destika Gilang Lestari dari GERAK Aceh membuka diskusi dengan menekankan pentingnya kolaborasi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
“Kita tahu masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan dalam mencapai kesetaraan. Kehadiran pemerintah dalam forum ini, seperti yang diwakili oleh Pak Fadhil, tentu menjadi peluang untuk memperluas ruang kolaborasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di Aceh,” ujarnya.
Fadhil S.Sos., MM, Asisten Wali Kota Banda Aceh, dalam paparannya menegaskan bahwa kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan, tetapi menyangkut keadilan bagi semua pihak. Ia mengakui masih adanya kesenjangan dalam akses perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik.
“Keterlibatan semua elemen masyarakat sangat penting dalam mendorong perubahan. Dengan dukungan kolektif, kita berharap kesetaraan gender dapat terwujud lebih cepat tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut masyarakat Aceh,” katanya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Reza Munawir, turut mengapresiasi diskusi ini. Ia menyoroti peningkatan jumlah jurnalis perempuan di Aceh yang tidak hanya hadir sebagai pelengkap, tetapi juga menunjukkan kualitas dan profesionalisme yang tinggi.
“Ini bukti bahwa jika perempuan diberikan ruang yang sama, mereka mampu berperan setara dengan laki-laki,” ungkapnya.
Sementara itu, Amrina Habibi dari Presidium Balai Syura menyoroti tingginya angka kekerasan seksual di Aceh yang masih menjadi tantangan besar. Ia menegaskan pentingnya memberikan efek jera bagi pelaku serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan. Amrina juga menyoroti menurunnya jumlah perempuan di parlemen pasca-Pemilu 2024 sebagai bukti bahwa perempuan masih menghadapi hambatan besar dalam ruang publik.
“Isu perempuan bukan hanya milik Balai Syura atau komunitas perempuan saja, tetapi menjadi tanggung jawab kita semua. Baik laki-laki maupun perempuan lahir dari rahim perempuan, sehingga perjuangan kesetaraan gender adalah perjuangan bersama,” tegasnya.
Diskusi ini diharapkan menjadi pemicu untuk mendorong keterlibatan lebih luas dari berbagai pihak dalam memperjuangkan kesetaraan gender di Aceh. Dengan aksi nyata dan kolaborasi yang lebih erat, harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan semakin mendekati kenyataan.
Editor: Akil