Nukilan.id – Pemerintah Aceh Selatan di bawah kepemimpinan Bupati Tgk. Amran pada tahun 2020 telah mengalokasikan anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) Rp9,4 miliar lebih. Dari tersebut, dinyatakan anggaran yang terealisasi dengan serapan 97,06 % atau sejumlah mencapai Rp. 9,1 miliar lebih. Untuk BTT tersebut dikelola BPBD Aceh Selatan sebesar BPBD Aceh Selatan ini, Rp4.480.405.700,- untuk percepatan penanggulangan corona virus disease 2019 (Covid-19).
“Dari hasil nilai belanja yang diuji petik BPK, semua itu untuk belanja bahan bakar Rp. 236.276.500, belanja alat kesehatan dan bahan medis Rp. 198.550.000, dan belanja makan dan minum Rp. 601.681.000. Totalnya Rp1.036.507.500. Selain itu, BTT Covid-19 Aceh Selatan tersebut juga diungkap BPK tidak sesuai peruntukan senilai Rp141 juta lebih. Disini kita melihat adanya indikasi adanya Pat Gulipat dalam pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari anggaran BTT tersebut,”ungkap koordinator Gerakan Muda Aceh Selatan (GeMAS) Revi Najriel SE kepada media, Senin (7/10/2021).
Revi menyampaikan, potensi adanya indikasi pelanggaran hukum pada realisasi anggaran Covid-19 semakin diperkuat dengan adanya temuan belanja bahan bakar untuk kegiatan percepatan penanganan Covid-19, berupa pembelian dextlite dan pertalite sampai dengan tanggal 31 Oktober 2020 dengan total mencapai Rp236.276.500. Dari jumlah tersebut, belanja bahan bakar untuk kegiatan monitoring pimpinan daerah, seluruhnya Rp37.950.000, dan diberikan kepada pimpinan daerah secara tunai, tidak dilengkapi nota pembelian/kuitansi asli.
“Realisasi pembelian bahan bakar tersebut tidak didukung dengan nota pembelian atau kuitansi asli dari penyedia barang/jasa. Melainkan, berupa surat bukti pengeluaran/belanja. Bahkan hasil konfirmasi auditor BPK pada 27 November 2020 kepada seluruh penyedia barang/jasa yang tertulis pada dokumen pertanggungjawaban dinyatakan, melalui Usaha Dadang (UD). LMT dan PT. MBW. Mirisnya lagi ditemukan bahwa stempel dan tanda tangan pada dokumen pertanggungjawaban bukan berasal dari penyedia barang/jasa. Sehingga juga dapat disimpulkan adanya potensi pemalsuan dokumen dan pelaporan fiktif dalam hal tersebut,” jelas Revi.
Berikutnya, kata Revi, adanya pelanggaran hukum serius dalam realisasi BTT terungkap terkait persoalan pembelian alat-alat kesehatan dan bahan medis untuk kegiatan percepatan penanganan Covid-19, seluruhnya Rp305.250.000. Dari jumlah tersebut, terealisasi Rp305.250.000.
“Lagi-lagi jumlah itu tidak didukung nota pembelian/kuitansi asli dari penyedia barang/jasa. Melainkan, surat bukti pengeluaran/belanja. Kemudian, pada bukti pertanggungjawaban, pembelian alat-alat kesehatan dilakukan di Apotek Ls seluruhnya, Rp. 230.200.000- dan di Apotek AR seluruhnya Rp. 75.050.000,-. Nah, disini lagi-lagi ternyata diperoleh informasi stempel dan tanda tangan pada dokumen pertanggungjawaban bukan berasal dari penyedia barang/jasa, melainkan berdasarkan konfirmasi auditor BPK RI kepada Kepala Subbidang Rekonstruksi BPBD, diperoleh informasi terdapat pembelian alat rapid test di PT DNR di Banda Aceh, Rp106.700.000,- bukan di Apotek Ls sebagaimana pada pertanggung jawaban. Sehingga dapat dikatakan pertanggung jawabannya bodong bin fiktif,” ujarnya.
Revi menambahkan, belum lagi ditemukan adanya selisih belanja pembelian pembelian alat-alat kesehatan Rp. 198.550.000,-.
“Ini semakin memperkuat adanya indikasi Pat Gulipat di dalam realisasi anggaran BTT Covid 19 Aceh Selatan,”tambahnya.
Selanjut, kata Revi, BPBD mempertanggungjawabkan belanja makan minum pada pos pantau perbatasan Rp.402.940.000, dengan penyedia barang/jasa adalah rumah makan DD. Namun berdasarkan informasi yang didapat BPK RI catatan yang dimiliki dari rumah makan DD, Rp110.535.000. Sehingga, ditemukan adanya selisih pembayaran sebesar Rp. 292.405.000,-.
Tidak hanya itu, lanjut Revi, pengujian lebih lanjut atas dokumen pertanggungjawaban belanja makan minum dengan penyedia barang/jasa adalah Rumah Makan BB, seluruhnya sebesar Rp155.275.000,-.
Lalu pengujian lebih lanjut oleh BPK RI atas dokumen pertanggungjawaban belanja makan minum pada lokasi karantina dengan penyedia barang/jasa, rumah makan KS, Rp297.450.000.
Berdasarkan hasil konfirmasi BPK kepada pihak terkait dan penghitungan buku catatan penyedia barang/jasa tersebut, diperoleh informasi jumlah seluruh belanja makan minum petugas pada lokasi karantina penanganan percepatan lokasi karantina Covid-19, sebesar Rp199.047.000.
Mirisnya, beber Revi, atas belanja makan minum tersebut, BPBD masih memiliki utang kepada rumah makan KS sebesar Rp. 55.598.000,00. Kemudian, total pembayaran belanja makan minum lokasi karantina yang telah diterima rumah makan KS sampai dengan tanggal 26 November 2020 sebesar Rp.143.449.000.
“Totalnya yang ditemukan BPK terkait persoalan makan dan minum ini saja yang berpotensi bermasalah itu mencapai Rp.600 juta lebih, sungguh sangat memprihatinkan,”ucapnya.
Untuk itu, GeMAS, secara tegas mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh segera mengusut indikasi Pat Gulipat yang berpotensi melanggar hukum, terutama ditemukannya sejumlah dokumen pelaporan yang disinyalir bodong atau dapat dikatakan fiktif, serta juga berpotensi adanya pemalsuan dokumen pelaporan.
“Kendatipun nanti selisih pembayaran dikembalikan ke Kasda, namun indikasi adanya pemalsuan dokumen alias dokumen bodong yang mengarah kepada indikasi pelaporan fiktif dapan dijadikan landasan awal untuk mengusut sekaligus membongkar indikasi korupsi dalam penggunaan anggaran penanganan covid-19 di Aceh Selatan. Kita mendesak penegak hukum, khususnya Kejati Aceh bahkan jika perlu KPK RI untuk segera mengusut persoalan ini. Sungguh sangat disayangkan, dikala masyarakat mengalami kesulitan menghadapi pendemi covid-19, namun justru permainan pat gulipat anggaran yang diperuntukkan untuk penanganan Covid-19 justru kian marak. Sebagai elemen sipil, kita berharap pihak penegak hukum tidak tutup mata terkait persoalan ini,”pungkasnya.[]