NUKILAN.id | Banda Aceh – Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menggelar pemutaran film dokumenter The Last Accord: War, Apocalypse, and Peace in Aceh secara eksklusif di Universitas Syiah Kuala (USK), Jumat (11/4/2025). Acara yang berlangsung di Aula Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) itu disaksikan ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas.
Film dokumenter tersebut mengangkat kisah nyata perjalanan panjang menuju perdamaian di Aceh, dengan menghadirkan wawancara dari tokoh-tokoh kunci yang terlibat langsung dalam proses perundingan. Mulai dari perwakilan Pemerintah Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mediator dari Crisis Management Initiative (CMI) Finlandia, hingga pihak-pihak pendukung lainnya.
Rektor USK, Prof. Dr. Ir. Marwan, menyambut baik inisiatif FPCI menghadirkan film ini ke kampus. Menurutnya, dokumenter ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda tentang nilai-nilai diplomasi, keberanian berdialog, dan komitmen untuk menyelesaikan konflik secara bermartabat.
“Dokumenter ini menjadi catatan penting dalam perjalanan bangsa dan sangat relevan untuk ditonton dan didiskusikan, terutama oleh generasi muda,” ujar Rektor.
Sementara itu, salah satu tokoh utama dari pihak Pemerintah Indonesia dalam proses damai Aceh, Hamid Awaluddin, turut menyampaikan sambutan secara daring. Ia mengenang betapa rumitnya proses negosiasi kala itu, terutama dalam menjaga emosi timnya dan memahami suasana batin pihak GAM.
“Inti perdamaian itu adalah memberi martabat terhadap nyawa dan harapan manusia. Kalau kita damai, masa depan itu bisa kita proyeksikan. Dan memulai kerja apa yang kita impikan di masa depan,” ucap Hamid.
Dari pihak GAM, Juru Runding Nur Djuli hadir langsung dan menyampaikan apresiasi atas berlangsungnya acara ini. Ia mengingatkan pentingnya konsistensi dalam melaksanakan setiap poin perjanjian damai, sebagaimana pesan dari Martti Ahtisaari, mediator utama dari Finlandia.
“Jadi kalau kita mau perdamaian itu berkelanjutan. Aman dan damai dan seterusnya, maka kita harus melakukan setiap butir perjanjian yang sudah kita sepakati,” ujar Nur Djuli.
Pemutaran film ini menjadi momentum reflektif, tidak hanya mengenang masa lalu penuh luka, tetapi juga membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya merawat perdamaian di Aceh secara berkelanjutan.
Editor: Akil