Nukilan.id – UUPA merupakan regulasi tertinggi dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan Aceh, maka Pemerintah dan Pemerintah Aceh wajib memperkuat dan menyamakan pemahaman serta menginternalisasikan komitmennya untuk menghormati dan menjaga implementasinya sesuai dengan kesepakatan politik yang sudah dituangkan dalam perjanjian perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, 15 Agustus 2005.
Pernyataan diatas mengemuka dalam forum diskusi kritis yang diadakan oleh Achehnese civil society Task Force (ACSTF) yang bekerjasama dengan Center for eace and Conflict Studies (CPCS) pada Kamis 15 Juni 2023 di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.
Menurut Nina Noviana, staf ACSTF dan panitia pelaksana, 15 peserta yang hadir dalam kajian kritis dengan tema menilai efektifitas implementasi UUPA dalam menjalankan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Aceh, peserta yang diundang dari institusi pemerintah Aceh, kantor wilayah seperti Bank Indoensia, Bea Cukai dan Pajak selanjutnya juga dari akademisi, politisi dan LSM.
Baca Juga: Berpotensi Tuai Polemik, GeMAS Minta Draft Revisi UUPA Dilakukan Uji Publik Lebih Dulu
“Kajian tersebut menitikberatkan pada pasal 7 dan pasal 11 UU No.11/2006 dimana ACSTF sedang mengkaji gap atas implementasi Kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2). Karena, frase urusan pemerintahan yang bersifat nasional sebagaimana pada pasal 7 ayat (2) merupakan ketentuan yang tidak disepakati dalam perjanjian Helsinki namun diatur dalam UU No.11/2006 sehingga frase tersebut dalam prakteknya membuka celah juga terhadap kewenangan pemerintah yang lebih luas. Segala ketentuan aturan yang berlaku pada provinsi lain ternyata juga berlaku di Aceh. Kekhususan dan kewenangan Pemerintah Aceh pun tereduksi”
Novi menjelaskan lagi, dalam diskusi juga berkembang bahwa tingkat pemahaman UUPA ternyata lemah sekali, baik ditingkat Pemerintah Aceh, apalagi ditingkat Pemerintah, terutama kementrian kelembagaan.
Maka, ada pandangan untuk membentuk Badan Khusus Pembinaan, penguatan dan Pengawasan UUPA, dimana Badan tersebut memastikan para pihak memahami UUPA, institusi Pemerintah Aceh dan juga Kementrian, badan ini juga melakukan komunikasi lebih lanjut dengan Pemerintah jika ada PP dan bahkan UU/aturan baru nasional agar tetap sesuai dengan UUPA. Selanjutnya, ada pandangan juga agar setiap Caleg DPR Aceh diwajibkan untuk menguji pemahaman UUPA. Semua pihak harus paham bahwa UUPA merupakan “Hukum/regulai tertinggi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh”
Selanjutnya, Novi menambahkan, komitmen pemerintah pusat harus lebih kuat lagi, saat ini dari 9 PP yang diwajibkan sebagai turunan UUPA, baru lima yang selesai, terutama PP No 3/2015 yang belum operasional dan diharapkan segera direvisi agar dapat dilakukan revisi segera supaya bisa operasional, namun sampai saat ini pemerintah belum meresponnya.
“Ini bentuk komitmen Pemerintah yang juga sangat lemah dalam memastikan regulasi di Aceh sesuai dengan kewenangan Aceh sebenarnya” lanjutnya.
“Kedepannya, hasil Kajian Kritis ini akan dikembangkan dalam bentuk policy paper, disampaikan ke pemerintah dan Pemerintah Aceh, serta publik. ACSTF sebagai lembaga yang sangat konsen dengan penguatan perdamaian dan pembangunan Aceh terus berupaya mengawasi dan mengkritisi perkembangan implementasi UUPA agar substansi yang terkandung didalamnya betul-betul dapat dijalankan dan menguatkan proses perdamaian kearah perdamaian positif,” tutup Novi.
Baca Juga: Revisi UUPA Perlu Dikawal Secara Ketat