Nukilan.id – Bencana banjir berulang saban tahun diberbagai daerah di Aceh khususnya di musim penghujan tidak bisa lagi sekedar disikapi dengan aktivitas penangganan bencana melalalui bantuan kebencanaan.
Bencana yang terjadi di Aceh seperti banjir harus dilihat sebagai dampak dari kegagalan pembangunan yang secara agamis disebabkan oleh ulah manusia dan karena tingkah laku manusia.
Disebut sebagai ulah manusia karena ragam aktifitas pembangunan yang abai terhadap lingkungan atau merusak lingkungan, seperti penebangan hutan, aktivitas tambang, pengrusakan daerah tangkapan air, plus tidak tertatanya saluran air dan kurangnya irigasi dan bendungan serta sungai yang tidak terawat.
Dan disebut karena tingkah laku manusia karena durhakanya para aktor pembangunan terhadap rakyat dan alam serta lingkungan sehingga abai terhadap perencanaan yang baik, abai terhadap aturan yang telah disepakati, dan hadirnya regulasi yang cacat secara sosial, kemanusiaan, budaya dan lingkungan.
Akibat dari ulah dan tingkah laku manusia itu, jika tidak diantisipasi sejak dini maka sangat mungkin Aceh masuk dalam perumpaan Allah SWT dalam surah An Nahl: 112:
“dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” An Nahl: 112.
Untuk itu, ForBINA mengusulkan kepada eksekutif dan legislatif serta DPR RI dan DPD RI agar skema perbaikan Dana OTSUS harus pula menyertakan anggaran untuk penangganan lingkungan di Aceh.
“Jadi, penangganan bencana di seluruh Aceh langsung mengatasi akar penyebab bencana seperti banjir, berupa reboisasi daerah tangkapan air, perbaikan saluran air, perbaikan sungai, pembangunan irigasi dan pembangunan kesadaran lingkungan masuarakat,” kata Muhammad Nur, Direktur ForBINA.
Disampaikan oleh M. Nur, jika pendekatan bencana hanya sebatas pemberian bantuan tanggap darurat dan bantuan sosial maka hal itu lebih sebagai pencitraan aparatur dan para wakil rakyat namun akar kebencanaan tidak pernah bisa teratasi dengan tuntas.
“Jadi, kami mengusulkan agar Dana OTSUS Aceh, 20 persennya untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pembangunan yang abai terhadap lingkungan,” tutup M. Nur.