Fakta Riset: Dampak Pandemi COVID-19 Buat Langit Jadi Lebih Bersih

Share

Nukilan.id | Baru-baru ini ramai polemik mengenai foto yang menampilkan pemandangan Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat yang dipotret dari Kemayoran, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Foto karya fotografer Ari Wibisono itu dituduh Arbain Rambey, fotografer senior, merupakan hasil penggabungan dua foto atau “tempelan”.

Sebelumnya, Ari mengunggah foto tersebut di akun media sosialnya dengan caption, “Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih Jakartans ?? #JakartaLangitBiru.”

Selama ini pemandangan Gunung Gede Pangrango yang berlokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, jarang terlihat dari Jakarta. Biasanya, polusi udara menutupi gagahnya Gunung Gede Pangrango di kejauhan. Unggahan foto dari Ari seolah memperlihatkan bahwa kualitas udara langit Jakarta telah membaik di masa pandemi COVID-19 ini.

Namun cap “tempelan” dari Arbain terhadap foto Ari belakangan menimbulkan polemik dan perdebatan atas sejumlah perkara. Terlepas dari penyuntingan foto, terdapat pertanyaan yang menyeruak di benak warga: Apakah benar langit Jakarta dan sekitarnya telah jadi lebih bersih di masa pandemi ini?

Annuri Rossita, peneliti klimatologi terapan dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas IPB pernah menulis di The Conversation bahwa ketentuan menjaga jarak untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19 memang berdampak pada penurunan polusi udara di beberapa negara, termasuk Indonesia.

“Di Indonesia, pengawasan kualitas udara secara real time –kolaborasi antara Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim-IPB dengan National Institute for Environmental Studies, di Jepang– mencatat adanya penurunan polusi udara di Kota Bogor, Jawa Barat,” tulisnya.

Level nitrogen dioksida, salah satu gas rumah kaca yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan, turun 7,2% antara April dan Mei 2020, dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Penurunan polusi udara ini tidak hanya terjadi di Bogor, tapi juga Jakarta.

Baca juga:LIPI Upayakan Solusi untuk Limbah Medis

Koordinator Bidang Analisis Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kadarsah, mengatakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di DKI Jakarta oleh pemerintah untuk menekan laju penularan virus corona memberikan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat polusi Jakarta. Menurut data Capaian Tahun Anggaran 2020, Pusat Informasi Perubahan Iklim, Sub Bidang Analisis Komposisi Kimia Atmosfer: Produk Informasi PSBB, tingkat polusi udara di Jakarta selama tahun 2020 turun drastis dibandingkan dengan data pengamatan dari tahun 2000-2019.

Baca juga: Sebanyak 500 Kg Sampah Medis RSUDZA Dimusnahkan Setiap Hari

Kadarsah mengatakan data tersebut dikumpulkan secara manual di sejumlah lokasi di Jakarta, yakni Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, Monas, Bivak, Grogol dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). “Berdasarkan data terakhir (yang dihimpun), membuktikan bahwa pada saat PSBB, polutan itu memang berkurang secara signifikan. Kami membandingkannya dengan data historis selama 20 tahun terakhir,” kata Kadarsah, seperti dikutip dari Kompas.com.

Penurunan tingkat polusi udara atau langit yang tampak lebih bersih tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain secara global. Dari provinsi Hubei di China hingga kawasan industri di Italia utara dan sekitarnya, tingkat polusi udara telah anjlok berkat lockdown atau karantina wilayah yang bertujuan untuk memperlambat penyebaran virus corona dengan menutup aktivitas bisnis di perkantoran dan pabrik dan membuat miliaran orang tetap tinggal di rumah saja selama berhari-hari.

Di India, negara yang kualitas udaranya termasuk yang terburuk di dunia, “orang-orang melaporkan melihat Himalaya untuk pertama kalinya dari tempat mereka tinggal,” kata Lauri Myllyvirta, analis utama di Centre for Research on Energy and Clean Air yang berbasis di Helsinki, kepada National Geographic melalui email.

Lockdown yang diterapkan secara tergesa-gesa di India memang telah menghancurkan perekonomian masyarakat, menyebabkan ratusan ribu pekerja migran kehilangan rumah atau pekerjaannya. Tapi di Delhi, kota yang kondisi udaranya biasanya sangat buruk, tingkat PM2.5 dan gas berbahaya nitrogen dioksida turun di sana sempat turun lebih dari 70 persen saat masa lockdown.

Namun begitu, penurunan tingkat polusi udara ini pasti  bersifat hanya sementara. Untuk mendapatkan udara yang lebih sehat dalam jangka panjang, anjur Myllyvirta, cara yang baik adalah dengan beralih ke energi dan transportasi yang bersih.

Senada dengan Myllyvirta, Corinne Le Quéré, pemimpin penelitian sekaligus profesor perubahan iklim dari University of East Anglia juga mengkhawatirkan tingkat polusi udara global yang bakal kembali meninggi setelah lockdown atau karantina wilayah dilonggarkan. Menurut hasil penelitiannya, pada awal April, dengan adanya karantina wilayah, emisi karbon menurun sebanyak 17% dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, pada 11 Juni, data terbaru menunjukkan bahwa itu hanya lebih rendah 5% di waktu yang sama pada tahun lalu —padahal aktivitas normal belum berfungsi sepenuhnya.

Baca juga: Sinabung Kembali Muntahkan Awan Panas, Warga Diminta Waspada

“Kita masih memiliki jumlah mobil, jalanan, industri, dan rumah yang sama,” kata Corinne Le Quéré kepada National Geographic. “Oleh sebab itu, saat karantina wilayah dilonggarkan, kita akan kembali ke seperti semula,” paparnya.

Meski penurunan tingkat polusi udara niscaya akan kembali meninggi saat pandemi kelak berakhir dan penerapan lockdown, karantina wilayah, atau PSBB dilonggarkan, langit yang lebih bersih di masa pandemi ini menunjukkan tentang seberapa cepat sebenarnya kita bisa menurunkan polusi udara saat kita mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Udara yang lebih bersih ini sepatutnya juga menjadi pengingat betapa indahnya pemandangan langit yang sesungguhnya bila minim polusi udara.

Selain itu, ini semestinya juga bisa menjadi motivasi agar kita sebisa mungkin mencegah  timbulnya polusi udara yang tinggi dan mematikan di sekitar kita. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengatakan bahwa udara kotor, baik di dalam maupun di luar ruangan, merupakan penyebab tujuh juta nyawa manusia di seluruh dunia mati prematur atau mati lebih cepat tiap tahunnya [nationalgeographic.grid.id/Utomo Priyambodo].

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News