Fadli Zon, Penyangkalan, dan Sejarah yang Dipertanyakan

Share

Nukilan | Jakarta – Sebuah proyek ambisius tengah digarap oleh Kementerian Kebudayaan RI. Di bawah kepemimpinan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, pemerintah menargetkan rampungnya penulisan ulang sejarah Indonesia pada Agustus 2025, bertepatan dengan perayaan 80 tahun kemerdekaan RI.

Proyek ini bukanlah kali pertama dilakukan oleh pemerintah. Sebelumnya, dua karya besar telah lahir dari dukungan negara: Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan tahun 1975 dan terdiri dari enam jilid, serta Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang muncul pada dekade 2010-an, terdiri dari sembilan jilid dengan total lebih dari 4.500 halaman. Kedua karya tersebut menjadi referensi penting dalam pendidikan sejarah nasional.

Namun proyek baru ini justru menuai polemik sejak awal. Alih-alih dianggap sebagai langkah pembaruan narasi sejarah, penulisan ulang yang diusung Fadli Zon banyak dikritik karena dianggap tidak inklusif, tidak transparan, dan rawan menjadi alat politik.

Target Ambisius, Transparansi Minim

Dalam pernyataannya, Fadli Zon menyebut proyek penulisan ulang sejarah ini telah mencapai progres 70 persen dan akan dibuka untuk diskusi publik setelah draf akhir rampung.

“Saya dapat laporan sekarang ini sudah sekitar 70% dan nanti kalau sudah waktunya kita tentu akan menyelenggarakan diskusi publik,” ujar Fadli di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Jawa Barat, dikutip dari Detik, Selasa (24/6/2025).

Namun sejumlah akademisi mempertanyakan keterbukaan proyek tersebut. Sampai kini, belum ada publikasi resmi mengenai siapa saja yang terlibat sebagai penulis, bagaimana metodologi yang digunakan, atau kerangka naratif apa yang akan dijadikan acuan. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa proyek ini akan menciptakan versi sejarah tunggal yang berpihak pada kekuasaan.

Sebagian pihak juga menyangsikan kesiapan penyusunan buku sejarah tersebut jika targetnya hanya beberapa bulan lagi. Proses penulisan sejarah yang kredibel umumnya memerlukan riset panjang, uji silang data, hingga keterlibatan lintas disiplin ilmu.

Kekhawatiran Akan “Sejarah Resmi”

Kritik tajam datang dari arkeolog senior, Harry Truman Simanjuntak, yang dikenal luas karena kontribusinya dalam studi prasejarah Indonesia. Dalam wawancara dengan Tempo (23/5/2025), ia menolak konsep “sejarah resmi” yang menjadi dasar proyek ini.

“Sejak kapan pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dikatakan resmi?” ujarnya.

Truman menilai bahwa klaim kebenaran dalam sejarah harus diuji oleh komunitas ilmiah, bukan diputuskan oleh lembaga pemerintah. Ia khawatir proyek ini justru akan menjadi sarana legitimasi kekuasaan, bukan pembelajaran sejarah yang objektif.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa penyusunan sejarah nasional tidak dilakukan secara terbuka sejak awal. “Setiap orang boleh menulis sejarah. Tapi bila negara menyebutnya sebagai sejarah resmi, itu membuka ruang dominasi kekuasaan atas pengetahuan sejarah,” tambahnya.

Sejarah yang Elitis dan Tidak Inklusif

Sementara itu, sejarawan Mohammad Refi Omar Ar Razy dari Universitas Negeri Surabaya menyebut bahwa isi draf awal buku sejarah ini terkesan terburu-buru, tidak segar dari sisi historis, dan terlalu berorientasi pada narasi elite nasional.

“Isinya tidak banyak memperbarui hal-hal fundamental dari sisi historis. Terlalu elite, tidak menyentuh peran perempuan, masyarakat adat, atau kelompok minoritas,” ujarnya kepada BBC Indonesia, Rabu (14/6/2025).

Ia menyoroti bahwa penulisan sejarah nasional seharusnya mencerminkan keragaman suara dan pengalaman, bukan hanya sudut pandang Jakarta atau penguasa semata.

Menurutnya, proyek ini juga minim pembaruan konsep dan pendekatan sejarah kritis. “Alih-alih memperluas cakupan inklusif sejarah, draf ini justru membatasi representasi peran rakyat,” tambah Refi.

Sejumlah pengamat juga menyayangkan tidak adanya keterlibatan masyarakat sipil secara langsung dalam penyusunan narasi sejarah baru ini, padahal sejarah rakyat seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah nasional.

Pernyataan Kontroversial Soal Mei 1998

Ketegangan seputar proyek ini semakin meningkat setelah Fadli Zon mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait tragedi Mei 1998. Dalam wawancara di sela-sela kegiatan di IPDN Jatinangor, ia menyebut bahwa belum ada bukti kuat terkait adanya pemerkosaan massal dalam tragedi tersebut.

“Memang terjadi peristiwa pemerkosaan, tapi penggunaan istilah massal belum ada bukti kuat. Semua harus didasarkan pada fakta hukum dan kajian akademik yang jelas,” terang Fadli, dikutip Kompas, (24/6/2025).

Pernyataan ini bukan pertama kali dilontarkan Fadli. Dalam program Real Talk with Uni Lubis di kanal YouTube IDN Times, Selasa (10/6/2025), ia juga mempertanyakan narasi sejarah yang memasukkan kekerasan seksual sebagai bagian integral dari tragedi Mei 1998.

Menurutnya, penting bagi negara untuk menuliskan sejarah berdasarkan bukti yang terverifikasi dan bukan berdasarkan “narasi-narasi populer yang belum tentu akurat secara hukum.”

Bertentangan dengan Fakta Resmi Negara

Ucapan Fadli mendapat tentangan keras dari banyak pihak karena bertolak belakang dengan temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998. TGPF mencatat adanya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan, sebagian besar menimpa perempuan keturunan Tionghoa. Temuan ini telah disampaikan kepada Presiden BJ Habibie saat itu dan menjadi bagian dari catatan resmi negara.

Komnas Perempuan turut mengecam sikap Fadli. Dalam siaran persnya pada Minggu (15/6/2025), Komnas menyebut pernyataan tersebut menyakitkan dan berpotensi memperpanjang penderitaan para penyintas.

“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, melainkan juga memperpanjang impunitas,” ujar Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan, dikutip dari Kompas, (16/6/2025).

Komnas juga menyayangkan posisi Fadli sebagai pejabat negara yang seharusnya menjadi pihak pertama dalam membela kepentingan korban.

Suara Komunitas Tionghoa dan Aktivis Perempuan

Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) juga menyuarakan penolakan terhadap pernyataan Fadli. Ketua umumnya, Dr. Ipong Hembing Putra, menyebut komentar Fadli tidak sensitif dan menyakiti para korban.

“Pernyataan semacam ini bisa menggores luka lama dan menambah trauma bagi para penyintas,” ujarnya, sebagaimana dilansir Koma.id, Selasa (24/6/2025).

Sementara itu, sejarawan dan aktivis perempuan Ita Fatia Nadia menyebut pernyataan Fadli sebagai “dusta publik”. Ia menilai hal tersebut justru memperburuk upaya rekonsiliasi dan pencatatan sejarah yang adil bagi semua warga negara.

Ita juga menyatakan bahwa pengabaian terhadap kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia hanya akan memperkuat budaya impunitas dan melanggengkan ketidakadilan bagi perempuan korban kekerasan.

Kisruh penulisan ulang sejarah Indonesia membuka kembali perdebatan mendasar tentang siapa yang berhak menulis sejarah nasional. Apakah negara satu-satunya aktor yang sah? Atau seharusnya sejarah ditulis bersama, dengan melibatkan masyarakat sipil, penyintas, dan akademisi dari berbagai latar belakang?

Sejarah tidak bisa dibakukan hanya lewat satu versi. Dalam masyarakat demokratis, sejarah seharusnya menjadi ruang terbuka untuk perdebatan, refleksi, dan pemulihan. Jika proyek penulisan ulang ini menutup ruang itu, maka sejarah akan kehilangan fungsinya sebagai cermin jujur perjalanan bangsa.

Penulisan sejarah adalah pekerjaan moral. Ia bukan sekadar kompilasi data, melainkan penafsiran masa lalu yang sarat makna. Dalam konteks ini, publik memiliki hak penuh untuk bertanya dan mengkritisi: sejarah versi siapa yang sedang disusun? Dan untuk siapa? Selama proses ini tidak dilakukan secara transparan, inklusif, dan menghormati dokumen sejarah yang telah diakui negara, skeptisisme publik akan terus membayangi.

Dalam menghadapi masa depan, penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya menjadi kesempatan emas untuk mengoreksi penghapusan, ketimpangan narasi, serta membuka ruang baru bagi suara-suara yang selama ini diabaikan. Ini bukan sekadar proyek penerbitan buku, tapi tonggak arah bangsa dalam memaknai masa lalunya secara adil dan bermartabat. []

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News