NUKILAN.id | Banda Aceh – Dua dekade setelah tsunami yang melanda Aceh, wilayah ini telah menjalani perjalanan panjang menuju pemulihan dan menunjukkan ketahanan luar biasa. Namun, fakta unik terkait mitigasi bencana mulai muncul. Berdasarkan temuan ANTARA, di kawasan pesisir Kota Banda Aceh kini banyak berdiri perumahan yang jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari bibir pantai.
Berdasarkan pengamatan Nukilan.id, salah satu kawasan tersebut adalah Kajhu, Aceh Besar, di mana kini ratusan unit rumah telah selesai dibangun, dan proses konstruksi terus berlangsung hingga saat ini.
Menurut laporan IFRC Tsunami Response Report, gelombang tsunami yang melanda pada tahun 2004 mencapai ketinggian hingga 30 meter, menyapu kawasan pesisir dalam waktu singkat. Tragedi dahsyat ini merenggut lebih dari 120 ribu jiwa di Provinsi Aceh, dengan sebagian besar korban berasal dari wilayah pesisir. Peristiwa ini meninggalkan bayangan kelam yang sulit dilupakan.
Namun, bagaimana pandangan warga yang kini memutuskan untuk kembali tinggal di kawasan pesisir? Untuk menjawab pertanyaan ini, Nukilan.id melakukan liputan khusus dengan mewawancarai langsung warga yang memilih kembali menetap di wilayah tersebut.
Muhammad Zikri, seorang penghuni rumah subsidi di kawasan tersebut, mengungkapkan bahwa ia memilih tinggal di sana karena harganya terjangkau dan lokasinya dekat dengan tempat kerjanya di Kota Banda Aceh. Ketika ditanya tentang kekhawatirannya terhadap ancaman tsunami, Zikri mengakui bahwa awalnya ia sempat ragu. Namun, keberadaan penunjuk jalur evakuasi ke tempat aman membuatnya merasa lebih tenang dan mantap untuk menetap di sana.
“Awalnya memang ragu. Tapi sekarang sudah ada papan penunjuk evakuasi dan jalur-jalur menuju tempat aman. Saya rasa kalau ada bencana, masyarakat di sini sudah lebih siap,” kata Zikri saat diwawancarai Nukilan.id, Minggu (29/12/2024).
Pendapat serupa disampaikan oleh Nadia Putri, seorang ibu rumah tangga yang menyewa salah satu rumah di kawasan tersebut.
“Kami memang tinggal dekat pantai, tapi saya lihat masyarakat sekarang lebih peduli dengan mitigasi. Ada sosialisasi dari pemerintah soal jalur evakuasi. Anak-anak saya pun diajari cara menyelamatkan diri kalau terjadi gempa,” ungkap Nadia.
Namun, tidak semua penghuni merasa sepenuhnya yakin. Aminulllah, seorang pedagang yang baru pindah ke kawasan ini, mengungkapkan bahwa ia masih merasa was-was.
“Kalau dipikirkan terus, pasti takut. Tapi mau bagaimana lagi? Harga rumah di tempat lain mahal. Saya hanya berharap pemerintah terus meningkatkan sistem peringatan dini dan kesiapan warga,” tuturnya.
Sementara itu, Syahrul Amin, seorang mahasiswa yang tinggal di kawasan ini, menilai bahwa program mitigasi bencana harus terus berlanjut. Menurutnya, banyak anak kos yang lahir setelah Tsunami mulai kurang waspada terhadap potensi bencana.
“Kita tidak boleh lengah. Jalur evakuasi dan papan petunjuk harus secara rutin diperiksa oleh pihak berwenang. Selain itu, kami yang tinggal di sini juga perlu pelatihan berkala agar siap menghadapi situasi darurat,” ujar Syahrul.
Kajhu, seperti banyak kawasan pesisir Aceh lainnya, menjadi saksi perjalanan panjang pemulihan pascatsunami. Meskipun risiko bencana tetap ada, warga yang memilih tinggal di sini tampaknya telah berdamai dengan ketidakpastian, bertumpu pada harapan bahwa mitigasi yang lebih baik akan melindungi mereka dari tragedi serupa di masa depan.
Keputusan untuk tinggal kembali di pesisir adalah pilihan yang kompleks, di mana ekonomi, kenyamanan, dan kesiapan menghadapi bencana memainkan peran penting. Namun, satu hal yang pasti, ketahanan masyarakat Aceh telah menjadi inspirasi bagi banyak pihak dalam menghadapi bencana dan membangun kembali kehidupan. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah