Dua Dekade Damai Aceh: Iwan Rismadi Suarakan Luka Anak Korban Konflik lewat Puisi

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Dua dekade sudah perdamaian Aceh dikumandangkan, namun luka lama tampaknya belum sepenuhnya sembuh. Hal ini tergambar dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Damai untuk Keadilan, Demokrasi, dan Kesejahteraan Aceh” yang digelar Cakrawala Muda Aceh pada Sabtu malam, 2 Agustus 2025 lalu.

Forum yang menghadirkan tokoh-tokoh penting, seperti Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), anggota DPR RI asal Aceh, dan sejumlah pengamat kebijakan publik itu sempat diwarnai momen emosional.

Suasana forum mendadak hening saat Iwan Rismadi, seorang peserta dari kalangan muda, maju ke mimbar dan membacakan sebuah puisi bertajuk “Di dalam Selimut Perdamaian Palsu.” Dengan suara lantang, Iwan membacakan larik-larik getir yang mempertanyakan makna sejati dari perdamaian yang telah 20 tahun diikrarkan.

“Aku menelusuri makna dari kata perjanjian dan perdamaian
benarkah perjanjian itu dijalankan?
Sungguhkah perdamaian itu ada?
Di tanggal 15 Agustus 2005 perdamaian dikumandangkan dengan lantang
Suara-suara perdamaian menggelegar di pelosok-pelosok negeri
Perjanjian-perjanjian tertulis dengan rapi
Tetapi di satu tempat jauh di dalam pelosok negeri seorang anak bertanya kepada ibunya
Di manakah ayah dikuburkan, ibu?
Benarkah ayah seorang pejuang di bangsa Aceh ini?
Tetapi ibu hanya bisa menjawab, wallahu a’lam bish shawab
Kemudian sang anak kembali bertanya kepada ibunya
Benarkah perdamaian itu ada, ibu?
Jika memang perdamaian itu ada
Kenapa hidup di negeri ini sangat sulit, ibu, untuk aku sekolah saja kita tidak punya biaya
Kemudian ibu kembali menjawab, wallahu a’lam bish shawab.”

Puisi tersebut sontak disambut tepuk tangan panjang dari peserta forum. Tak sedikit yang mengaku tersentuh oleh narasi yang menyuarakan luka generasi pascakonflik yang masih jauh dari kata pulih.

Saat diwawancarai pada Senin (4/8/2025), Iwan Rismadi menegaskan bahwa puisi yang ia bacakan adalah refleksi dari realitas yang masih dirasakan oleh anak-anak korban konflik di Aceh.

“Puisi saya menceritakan tentang kehidupan seorang anak tanpa ayah, yang hidup di garis kemiskinan. Namun negara tidak hadir di tengah-tengah anak tersebut,” katanya kepada Nukilan.id.

Menurut Iwan, puisinya bukan sekadar karya sastra, melainkan bentuk kritik dan keberpihakan terhadap mereka yang selama ini terpinggirkan. Ia ingin mengingatkan bahwa perdamaian sejati harusnya menghadirkan keadilan sosial.

“Jadi puisi ini bentuk peringatan kepada negara, dalam hal ini pemerintah yang selama ini tutup mata terhadap korban konflik,” tutupnya.

Refleksi yang disampaikan Iwan menggambarkan bahwa damai bukan hanya tentang tiadanya senjata, tetapi sejauh mana negara hadir untuk menyembuhkan luka. Sebab, tanpa keadilan dan kesejahteraan, perdamaian bisa terasa semu bagi mereka yang tumbuh dalam ketimpangan. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News