NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Beberapa waktu lalu, kasus yang menimpa Khairul Halim, seorang petani cabai di Banda Aceh yang gagal menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah negeri karena diminta membayar biaya daftar ulang, tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga membuka ruang refleksi sosial yang sangat luas.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang relasi negara, struktur pendidikan, serta peran masyarakat sipil dalam menjamin keadilan akses pendidikan.
Untuk menggali berbagai dimensi di balik peristiwa ini, pada Minggu (29/6/2025) Nukilan.id mewawancarai Dr. Masrizal, seorang sosiolog dari Aceh. Ia menyoroti pentingnya kehadiran negara secara aktif dalam menjamin hak pendidikan warga, bukan hanya saat muncul masalah.
“Negara tidak boleh hadir hanya ketika ada persoalan, namun negara harus hadir secara aktif. Jangan hanya muncul ketika ada masalah,” kata Dr. Masrizal dengan nada kritis.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki mekanisme pencegahan yang sistematis dan berkelanjutan, bukan hanya reaktif. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan oleh instansi terkait seperti Dinas Pendidikan.
“Pemerintah, dalam hal ini seperti dinas pendidikan, seharusnya rutin melakukan edukasi ke sekolah-sekolah dan membuat aturan yang jelas sebagai acuan. Jadi, sekolah tidak sembarangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut dana,” ujarnya.
Namun, tidak hanya negara yang bertanggung jawab. Dr. Masrizal juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan dan praktik-praktik pendidikan. Menurutnya, masyarakat tidak boleh diam ketika melihat ketimpangan terjadi.
“Di sisi lain, masyarakat sipil juga punya peran penting. Dalam kasus seperti yang dialami Khairul Halim, misalnya, perlu ada upaya advokasi bersama untuk melawan praktik pungutan liar di sekolah,” katanya lagi.
Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK tersebut menambahkan, di era digital seperti saat ini, masyarakat memiliki lebih banyak kanal untuk menyuarakan ketidakadilan. Petisi daring, kampanye media sosial, dan platform pengaduan publik bisa menjadi alat perjuangan yang efektif.
“Sekarang ini, bisa juga lewat jalur digital seperti membuat petisi online agar praktik-praktik semacam itu bisa dikontrol dan diawasi,” tambahnya.
Lebih jauh, sosiolog ini menggarisbawahi bahwa perjuangan bersama harus diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil, transparan, dan melindungi hak-hak peserta didik serta wali murid.
“Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa tidak ada penyelewengan, dan hak-hak siswa maupun wali murid terlindungi,” ujarnya tegas.
Ia menutup pernyataannya dengan penegasan bahwa kehadiran masyarakat sipil bukan pelengkap, melainkan elemen krusial dalam menciptakan sistem pendidikan yang berpihak kepada rakyat kecil.
“Kehadiran masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa akses pendidikan benar-benar merata dan bebas dari pungutan yang tidak dibenarkan,” pungkasnya.
Pernyataan Dr. Masrizal ini memberikan gambaran bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang adil, diperlukan kolaborasi aktif antara negara dan masyarakat.
Kasus Khairul Halim bukanlah sekadar kisah individu, melainkan refleksi dari sistem yang harus terus diperbaiki agar tidak semakin menjauhkan rakyat kecil dari hak dasar mereka: pendidikan. (XRQ)
Reporter: Akil