NUKILAN.id | Banda Aceh – Sejumlah anggota DPRA dari daerah pemilihan Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara bersama beberapa SKPA menggelar rapat koordinasi penanggulangan banjir untuk tiga daerah tersebut. Rapat yang berlangsung di Gedung Serbaguna DPRA, Rabu (12/1/2022), dipimpin oleh Wakil Ketua DPRA dari Partai Gerindra, Safaruddin.
Dalam rapat tersebut, Safaruddin didampingi oleh anggota dewan dari daerah pemilihan ketiga daerah tersebut, sementara dari pihak eksekutif hadir Asisten II Setda Aceh, Ir Mawardi, yang didampingi Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh, Azhari SE, Kepala BPBA Ilyas, Kepala Dinas Sosial, serta perwakilan dari Dinas Pengairan Aceh, Bappeda Aceh, dan lainnya.
Safaruddin mengatakan bahwa rapat koordinasi ini diadakan untuk mengevaluasi penanganan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Aceh melalui SKPA terhadap bencana banjir yang kerap melanda ketiga daerah tersebut setiap tahun, terutama pada musim hujan.
“Bencana banjir di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara terjadi hampir setiap tahun, dua hingga tiga kali. Apakah Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Aceh tidak pernah membuat kesepakatan dalam penanganan jangka pendek, menengah, dan panjang? Misalnya, membuat master plan penanganan banjir di wilayah tersebut,” kata Safaruddin.
Ia menambahkan bahwa kepala daerah harus memahami bahwa banjir yang berkepanjangan atau terjadi dua hingga tiga kali setiap tahun dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin di daerahnya.
“Jika hal ini disadari, maka daerah tersebut harus bersepakat membuat usulan penanganan banjir kepada pemerintah provinsi dan pusat secara berkelanjutan untuk penanganan permanen. Karena, apapun penanganan pengurangan kemiskinan yang dilakukan, jika masalah dasar seperti banjir tidak ditangani secara masif dan berkelanjutan, angka kemiskinan dan pengangguran di daerah tersebut akan tetap naik. Aceh tetap akan menjadi daerah termiskin di Pulau Sumatera dengan angka di atas 15 persen,” tandasnya.
Asisten II Setda Aceh, Ir Mawardi, menyatakan bahwa penanganan banjir di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara telah dilakukan oleh daerah masing-masing. Salah satu penanganan di Aceh Utara adalah pembangunan bendungan/waduk Keureuto, yang merupakan proyek strategis nasional (PSN). Namun, proyek ini terhambat oleh lambannya pembebasan tanah.
“Padahal, anggaran untuk pembebasan tanah sudah disediakan oleh pusat. Masalah pembebasan tanah menjadi tugas pemerintah daerah bersama Kanwil BPN dan BPN daerah setempat untuk membantu percepatannya,” ujar Mawardi.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPBA), Azhari, mengatakan bahwa pemerintah kabupaten sebenarnya telah disarankan untuk mengalokasikan dana Bantuan Tidak Terduga (BTT) dalam APBA dan APBK di atas Rp 30 miliar setiap tahun untuk penanganan darurat banjir. Namun, tiga daerah yang sering dilanda banjir hanya mengalokasikan dana BTT dalam APBK sebesar Rp 2-3 miliar.
“Dengan alokasi dana sebesar itu, jika ada banjir besar melanda, tentu tidak akan cukup,” ujar Azhari.
Syahrul Amin, seorang pegiat budaya dan adat Kluet, memberikan pandangannya mengenai upaya penanggulangan banjir ini. Menurutnya, selain pendekatan teknis, penting untuk melibatkan masyarakat setempat dalam upaya mitigasi bencana.
“Banjir bukan hanya masalah teknis, tetapi juga sosial dan budaya. Melibatkan masyarakat dalam penanganan banjir akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi mereka. Di Kluet, kami memiliki kearifan lokal yang bisa diintegrasikan dalam upaya mitigasi banjir,” kata Syahrul Amin.
Rapat koordinasi ini diharapkan mampu menghasilkan langkah konkret dan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi banjir di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara demi kesejahteraan bersama.
Editor: Akil