NUKILAN.id | Banda Aceh – Kerajaan Inggris selalu menjadi bahan cerita yang menarik perhatian, dari budaya monarki hingga drama keluarga yang terus diekspos oleh media massa. Namun, di balik gaya hidup glamor dan megahnya kastil-kastil, tersimpan sejarah kelam yang dibangun melalui kolonialisme dan perbudakan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Nukilan.id, Kerajaan Inggris merupakan pewaris utama konflik yang menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah di berbagai belahan dunia, yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Jika melihat peta wilayah Britania Raya atau United Kingdom, tampaknya kekuasaan negara ini hanya mencakup daratan di utara Samudra Atlantik. Sebagai perbandingan, wilayah tersebut tidak seberapa besar dibandingkan dengan Indonesia. Namun, jangan salah, selain daratan di utara Samudra Atlantik, Inggris Raya menguasai 14 wilayah lain di muka bumi. Kekuasaan yang membentang dari Laut Tengah hingga Samudra Atlantik ini adalah peninggalan masa kejayaan kolonialisme Inggris yang memuncak pada tahun 1921. Sejarah mencatatnya sebagai British Empire.
Jejak kolonialisme Inggris dimulai pada abad ke-16 dan berkembang menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia hingga abad ke-20. Ekspedisi Inggris ke berbagai belahan dunia dimulai pada awal 1550 di bawah komando Raja Henry VII. Cita-cita Inggris kala itu sederhana, menandingi Spanyol dan Portugal yang telah lebih dulu memulai ekspedisi mereka. Kedua negara tersebut telah berhasil menaklukkan banyak daerah di Karibia dan Amerika.
Ekspedisi dan perdagangan Inggris mendapatkan momentumnya pada abad ke-17, ditandai dengan munculnya kongsi perdagangan di Amerika Utara dan Pasifik. Salah satu yang terkenal adalah British East India Company, yang membentuk markas dagang di India pada 1600 sebelum akhirnya menguasai tanah-tanah di sana. Perdagangan swasta Inggris berkembang pesat dan Kerajaan Inggris turut menikmati keuntungan ekonomi ini, sambil memanfaatkan kongsi dagang sebagai alat penyebaran kepentingan kultural dan politik monarki di berbagai belahan dunia.
Pada saat yang sama, kekuatan militer dan angkatan laut Inggris kian menguat, memungkinkan ekspansi kekuasaan Inggris berjalan mulus. Mereka mengambil alih wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai kolonial Eropa lainnya seperti Portugal, Spanyol, dan Belanda. Misalnya, invasi pertama di Amerika dimulai di Virginia pada 1607, yang kemudian dilanjutkan dengan mengambil alih daerah jajahan Belanda, New Amsterdam, dan mengubah namanya menjadi New York pada 1912.
Pada puncak kejayaannya pada tahun 1920, Kerajaan Inggris menguasai seperempat tanah di dunia, dengan lebih dari 412 juta orang tinggal di bawah kekuasaannya. Keberhasilan perdagangan Inggris sering dikaitkan dengan industrialisasi yang mempercepat produksi melalui berbagai teknologi mesin. Namun, sebenarnya kekuasaan dagang Inggris sangat bergantung pada perbudakan.
Perbudakan menjadi penopang sistem ekonomi Inggris melalui rute perdagangan segitiga atau the triangular trade yang melibatkan tiga titik utama: Eropa, Afrika, dan Amerika. Kapal Inggris berlayar dari pelabuhan-pelabuhan utama seperti London, Bristol, dan Liverpool sambil mengangkut hasil bumi dan produk olahan seperti tekstil ke Afrika. Di sana, produk tersebut menjadi alat tukar untuk membeli ribuan warga Afrika yang kemudian dikirim ke Amerika. Sesampainya di Amerika, warga Afrika diperbudak dan dipekerjakan di perkebunan gula, kapas, dan tembakau. Hasil produksi tersebut kemudian dikirim kembali ke Inggris dan menjadi suntikan ekonomi yang besar.
Sementara Inggris bergelimang keuntungan, kondisi para budak kulit hitam sangat menyedihkan. Mereka diperlakukan seperti komoditas dagang, dan diperkirakan ratusan ribu orang mati dalam perjalanan dari Afrika ke Amerika dan Eropa antara tahun 1640 hingga 1807. Kapal-kapal Inggris mengangkut sekitar 3,4 juta warga Afrika, dengan 450.000 di antaranya meninggal saat perjalanan. Mereka sering dibiarkan mati kelaparan dan dehidrasi, dipaksa bekerja layaknya mesin dan hewan, serta menjadi korban perkosaan dan penyiksaan.
Keberhasilan ekonomi Kerajaan Inggris sangat berhutang pada perbudakan yang melibatkan 12 juta orang Afrika. Namun, tumbal kejayaan Inggris bukan hanya perbudakan. Puluhan negara dijajah, darah warga sipil bercucuran, dan kolonialisme Inggris meninggalkan warisan perpecahan serta konflik yang masih aktif di tanah-tanah bekas jajahannya.
Sebagai contoh, kekuasaan Inggris di Asia Selatan menyebabkan pecahnya wilayah tersebut menjadi tiga negara: India, Pakistan, dan Bangladesh. Walaupun ketiganya berhasil merdeka, warisan konflik masih terasa hingga kini, terutama di Kashmir yang menjadi saksi konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan. Konflik ini bermula dari pembagian wilayah yang dilakukan secara serampangan oleh pemerintah kolonial Inggris pada 1947, yang dikenal dengan the Partition of India. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan agama, yang menyebabkan jutaan warga harus bermigrasi dan meninggalkan kampung halaman mereka.
Tak hanya di India, taktik pecah belah atau divide and conquer juga menjadi akar kebencian di Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Pemerintah kolonial Inggris mendorong migrasi massal warga Muslim dari Benggala untuk bekerja di Rakhine, yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Konflik horizontal antara Muslim dan Buddha di Rakhine perlahan meruncing, dan kebencian semakin parah saat dua kelompok agama tersebut terpecah di Perang Dunia II.
Warisan kolonial Inggris juga mencakup genosida dan pelanggaran HAM yang masih berlangsung, seperti penjajahan Palestina oleh Israel. Pemerintah kolonial Inggris memiliki andil dalam awal mula okupasi Palestina oleh Israel melalui Deklarasi Balfour pada 1917, yang mendukung pembentukan negara Israel di Palestina. Penggusuran besar-besaran warga Palestina dikenal sebagai Nakba, di mana masyarakat Palestina digusur, ditindas, dan dihantam di tanah mereka sendiri.
Di balik kilap mahkota dan megah kastil kerajaan, tersimpan jejak eksploitasi, penjajahan, serta taktik politik pencaplokan dan perpecahan yang dampaknya masih dirasakan hingga kini. Sejarah kolonialisme Inggris adalah kisah penuh darah yang bahkan tetesannya masih berceceran sampai saat ini.
Reporter: Akil Rahmatillah