NUKILAN.id | Opini – Selama beberapa dekade, Jepang berdiri sebagai raksasa otomotif dunia. Nama-nama besar seperti Nissan, Honda, dan Toyota menjadi simbol keunggulan teknologi dan kualitas tak tertandingi. Mobil-mobil Jepang merajai jalanan dari Asia hingga Amerika, mendominasi pasar global dengan daya tahan, efisiensi bahan bakar, dan inovasi teknologi. Namun, seperti segala hal di dunia ini, kejayaan tersebut tak kekal. Dominasi Jepang yang dahulu terlihat mustahil untuk dihancurkan kini terguncang hebat oleh kebangkitan Tiongkok, yang dengan strategi brilian merebut takhta sebagai penguasa baru industri otomotif global.
Membangun Kejayaan dari Puing-Puing Perang
Untuk memahami keruntuhan Jepang, kita perlu menelusuri bagaimana negara ini membangun kejayaannya. Setelah kekalahan telak di Perang Dunia II, Jepang berada dalam kondisi yang tragis. Dalam bayang-bayang kehancuran, semangat inovasi bangsa ini menjadi senjata utama untuk membangkitkan ekonomi yang runtuh. Di bawah Perdana Menteri Shigeru Yoshida, pemerintah mengadopsi doktrin Yoshida, sebuah kebijakan yang menekankan pembangunan ekonomi dengan fokus pada industri dan perdagangan, sementara urusan militer diserahkan kepada Amerika Serikat.
Investasi besar-besaran dalam pendidikan, terutama di bidang sains dan teknologi, menghasilkan tenaga kerja yang terampil. Hasilnya, pada 1960-an hingga 1970-an, Jepang memperkenalkan kendaraan hemat bahan bakar yang memenuhi kebutuhan konsumen global. Toyota, dengan Toyota Production System-nya, memimpin revolusi efisiensi produksi, dan krisis minyak 1973 menjadi momen emas yang mendorong mobil-mobil Jepang menjadi primadona di pasar internasional.
Puncak kejayaan itu terlihat pada 1980-an, ketika Jepang menjadi produsen mobil terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat. Teknologi canggih seperti mesin hybrid pada Toyota Prius memperkokoh dominasi mereka di pasar global. Mobil-mobil Jepang terkenal dengan daya tahan, biaya perawatan rendah, dan nilai jual kembali tinggi, menciptakan ekosistem yang sulit disaingi.
Namun, kebangkitan Tiongkok mengubah segalanya.
Tiongkok: Dari Ketertinggalan ke Dominasi Baru
Berbeda dengan Jepang yang memulai kebangkitan industrinya pasca-Perang Dunia II, Tiongkok baru mulai membangun fondasi industrinya pada 1980-an. Kala itu, Jepang telah menjadi penguasa otomotif dunia. Namun, Tiongkok dengan cepat membuka diri terhadap investasi asing, mengadopsi teknologi, dan meningkatkan kapasitas produksi.
Momentum besar terjadi pada 2009, ketika Tiongkok melampaui Amerika Serikat sebagai pasar mobil terbesar di dunia. Pemerintah Tiongkok mengambil langkah strategis dengan mengalihkan fokus pada kendaraan energi baru, terutama mobil listrik. Subsidi, insentif, dan investasi besar-besaran dalam riset serta pengembangan membuat Tiongkok menjadi pemain utama dalam teknologi baterai, termasuk baterai lithium-ion yang efisien dan tahan lama.
Biaya produksi rendah, ditambah strategi penetapan harga yang agresif, menjadikan mobil-mobil Tiongkok lebih terjangkau dibandingkan mobil Jepang. Desain dan kualitas yang dahulu sering dipandang sebelah mata kini telah berubah total. Kolaborasi dengan desainer internasional serta peningkatan standar produksi menghasilkan kendaraan dengan estetika dan teknologi canggih, seringkali melampaui produk Jepang.
Sebagai gambaran, SUV Chery Omoda 5 buatan Tiongkok dijual dengan harga mulai dari Rp344 juta, jauh lebih murah dibandingkan Toyota Yaris Cross yang dibanderol mulai Rp351 juta. Di segmen mobil listrik, Tiongkok bahkan lebih unggul. Dengan teknologi baterai yang lebih efisien dan fitur-fitur canggih, mereka mampu menawarkan mobil listrik dengan jarak tempuh lebih jauh dan harga lebih kompetitif dibandingkan mobil Jepang.
Jepang: Ketertinggalan yang Fatal
Kesuksesan Tiongkok adalah tamparan keras bagi Jepang. Produsen mobil Jepang yang terlalu nyaman dengan teknologi hybrid mereka terlambat menyadari potensi besar kendaraan listrik murni (EV). Pada 2021, CEO Toyota masih beranggapan bahwa transisi penuh ke kendaraan listrik terlalu tergesa-gesa. Pandangan ini kini menjadi bumerang.
Data terbaru menunjukkan bahwa pada 2022, ekspor mobil Tiongkok mencapai 4,91 juta unit, melampaui Jepang yang hanya mengekspor 4,42 juta unit. Bahkan, produsen seperti BYD berhasil menjual lebih dari 3 juta kendaraan dalam satu tahun. Kehadiran mereka di pasar global semakin agresif, termasuk di Jepang sendiri.
Tiongkok juga mendapat momentum besar dari komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon. Target Uni Eropa untuk menghentikan penjualan mobil berbahan bakar fosil pada 2035 menjadi peluang emas bagi Tiongkok. Sementara itu, Jepang yang terlambat berinvestasi dalam kendaraan listrik menghadapi tantangan berat untuk merebut kembali posisi dominannya.
Balas Dendam Historis
Kebangkitan Tiongkok di industri otomotif bukan sekadar cerita bisnis. Ini adalah babak baru dalam rivalitas historis antara dua negara yang pernah saling mendominasi. Jepang yang dahulu menundukkan Tiongkok selama Perang Dunia II kini berada di bawah bayang-bayang kebangkitan tetangganya.
Meskipun Jepang masih memiliki teknologi baterai solid-state yang menjanjikan, momentum telah berpindah tangan. Dunia kini menyaksikan Tiongkok sebagai pemain utama dalam persaingan ekonomi global. Di balik kesuksesan ini, tersirat pesan yang jelas: dalam dunia yang terus berubah, kejayaan tak pernah abadi, kecuali bagi mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan.
Penulis: Akil Rahmatillah