NUKILAN.ID | Feature – Pagi baru saja menjelang ketika seorang remaja laki-laki berseragam santai, berkemeja abu-abu dan bercelana hitam, duduk sendiri di pelataran Gedung ICT Center Universitas Syiah Kuala.
Di hadapannya, mentari belum tinggi, namun wajahnya telah lebih dulu dibasahi cahaya harapan dan kegelisahan. Tampak sesekali ia menatap langit, sesekali pula menunduk sembari memejamkan mata, seolah sedang berdialog dengan Sang Pemilik Hidup.
Remaja itu bernama Farhan. Saat ditemui Nukilan.id di lokasi pelaksanaan ujian, ia memperkenalkan diri dengan suara pelan namun mantap.
“Namaku Farhan, dari Aceh Barat,” ucapnya pada Rabu (23/4/2025).
Farhan memilih untuk gap year tahun lalu. Bukan karena kendala biaya, melainkan karena belum berhasil lolos ke fakultas impiannya—Fakultas Kedokteran.
“Tahun lalu tidak lolos di Kedokteran. Jadi aku tidak kuliah dulu setahun untuk persiapan di tahun ini,” tuturnya.
Sebagai bentuk kesungguhan dan harapannya untuk masa depan, ia datang satu jam lebih awal sebelum pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Bukan karena takut terlambat, melainkan untuk menenangkan hatinya yang sejak malam tak kunjung menemukan kedamaian.
Bagi sebagian orang, UTBK mungkin hanya sekadar rangkaian soal dan waktu. Namun, bagi Farhan, ini adalah pertaruhan besar untuk masa depannya. Ia tidak ingin mengalami kegagalan untuk kedua kalinya.
Di dalam kepalanya, hanya ada satu doa yang terus terulang, yaitu doa Nabi Yunus yang sudah ia lantunkan sejak malam sebelumnya. Saat diminta Nukilan.id untuk menyebutkan lafaz doanya, Farhan membisikkan dengan lirih, nyaris tak terdengar:
“Laa ilaaha illa anta subhaanaka inni kuntu minadz-dzalimin.”
Dari raut wajahnya, seolah hanya Tuhan yang benar-benar tahu betapa besar harapan yang ia titipkan hari ini.
Tampak sebait doa terpampang di layar handphone-nya. Saat ditanya alasannya memasang doa tersebut, ia mengaku bahwa baginya UTBK bukan sekadar ujian akademik, melainkan juga momen untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Tahun lalu, layar handphone-nya masih dihiasi foto sang mega bintang sepak bola asal Portugal, idolanya sejak lama.
“Dulu foto Ronaldo di sini, tapi aku ganti supaya selalu ingat doa ini,” ungkapnya sambil tersenyum.
Seiring dengan itu, ia juga mulai mengurangi kebiasaan begadang demi menonton pertandingan sepak bola, demi fokus mempersiapkan diri menghadapi UTBK.
“Tadi malam overthinking, gelisah. Aku berdoa biar tenang. Tapi nggak tenang-tenang juga,” katanya sembari tertawa kecil, menyembunyikan ketegangan.
Namun, di balik kecemasannya, Farhan tetap berpegang pada satu keyakinan, doa Nabi Yunus dan doa-doa lain yang ia panjatkan akan mempermudah langkahnya dalam mengikuti ujian dan diterima di fakultas impiannya.
Tak hanya Farhan, wajah-wajah peserta lain yang memadati ICT Center juga tampak diliputi kecemasan menjelang dimulainya ujian.
Meski begitu, sebagian peserta tampak lebih santai karena telah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Salah satunya adalah Nabila.
Kepada Nukilan.id, Nabila mengaku berasal dari keluarga petani di Aceh Besar dan bercita-cita melanjutkan pendidikan di Universitas Syiah Kuala.
“Ayahku petani. Semoga aku lulus di USK,” ungkapnya.
Berbeda dengan Farhan, Nabila mengaku lebih tenang menghadapi UTBK hari ini karena sudah melakukan berbagai persiapan sebelumnya.
Tiga hari menjelang ujian, Nabila justru memilih untuk berhenti belajar. Bukan karena menyerah, melainkan sebagai strategi. Ia ingin tubuh dan pikirannya tetap segar saat menghadapi hari ujian.
“Kalau terus dipaksa belajar sampai hari H, takut malah blank pas ngerjain,” kata Nabila.
Nabila memilih program studi Hukum—sebuah pilihan yang cukup mengejutkan karena selama SMA ia belajar di jurusan IPA. Tapi dunia debat telah membentuk kecintaannya pada hukum.
“Aku suka debat dari dulu. Nggak tahu kenapa, berasa hidup aja kalau lagi debat,” ucapnya sambil tersenyum. “Jadi walaupun harus belajar dari nol, aku siap.”
Berbagai try out ia ikuti, dari yang gratis hingga berbayar. Puluhan soal ia taklukkan, les tambahan ia jalani, bahkan waktu nongkrong bersama teman pun rela ia kurangi.
UTBK 2025 diikuti oleh 860.976 peserta di seluruh Indonesia, termasuk 377 peserta difabel. Di antara mereka, hanya sekitar 295 ribu kursi yang tersedia di berbagai perguruan tinggi negeri.
Artinya, tidak semua akan berhasil. Tapi pagi itu, di bawah langit Banda Aceh yang mulai cerah, tidak ada yang ingin bicara tentang kegagalan.
Semua percaya, perjuangan mereka hari ini akan membawa hasil suatu saat nanti, entah lewat jalur SNBT atau jalur mandiri.
Bagi Farhan, hasil bukan segalanya. Yang terpenting, ia sudah berjuang. Ia sudah mengatur ulang mimpi dan menyiapkan diri untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.
“Kalau gagal, mungkin ada pintu lain yang dibukakan,” ujarnya tenang.
Di sisi lain, Nabila masih memandangi langit. Ia tahu jalan menuju kampus impian masih panjang. Tapi ia tidak takut. Di balik buku-buku tebal dan deretan latihan soal, ia percaya, tidak ada perjuangan yang sia-sia selama dijalani dengan sepenuh hati.
Pagi itu, Banda Aceh menyimpan ratusan harapan yang melayang ke langit—harapan dari mereka yang baru menamatkan sekolah, yang sempat gapyear, hingga anak-anak petani di pelosok desa.
Semuanya dipersatukan oleh satu keyakinan, bahwa mimpi layak diperjuangkan, sejauh apa pun jalannya. Ditemani doa, dipeluk mimpi. (XRQ)
Penulis: Akil