Nukilan.id – Jatuh lagi korban konflik manusia dan satwa. Kali ini, warga di Riau diduga kena terkam harimau sampai tewas. Adalah Indra, warga Desa Tasik Tebing Serai, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, Riau, ditemukan meninggal dunia dengan kepala terpisah sekitar dua meter dari tubuh dan pundak terkoyak bekas cakaran pada 6 April lalu.
Sejumlah pemberitaan menyebut, sehari sebelum ditemukan, Indra pamit dengan istrinya, Erna, untuk membersihkan ladang dan menengok jerat rusa di seberang Pulau Teluk Padi.
Sampai petang, Indra tak kunjung pulang dan ponsel tak dapat dihubungi. Sekitar lima 50-an warga pun berbondong-bondong mencarinya.
Dia ditemukan tewas di Suka Margasatwa Giam Siak Kecil, sekitar 20 meter dari pemasangan jerat. Kuat dugaan, dia diserang harimau Sumatera, karena di sekitar tempat kejadian ada jejak satwa dilindungi itu. Apalagi, kawasan itu memang habitat kucing besar.
Bripka Juanda Marpaung, PS Kasi Humas Polsek Pinggir, membenarkan informasi itu. Begitu mendapat kabar, tim Polsek Pinggir langsung menuju tempat kejadian. Mereka telah koordinasi ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. “Sepertinya, mereka masih di lapangan,” kata Juanda, Sabtu (9/4/22), via telepon.
Baca Juga: Konflik Harimau dengan Manusia di Jambi Telan Korban Jiwa
BBKSDA Riau belum memberikan keterangan resmi. Hartono, Plh Kepala BBSKDA Riau, tak merespon panggilan dan permintaan konfirmasi melalui WhatsApp. Sedangkan Kepala Bidang Teknis, Mahfud, enggan komentar dan melempar ke humas, Dian Indriati. Dia tengah cuti.
Kematian Indra, kasus kedua konflik harimau Sumatera dan manusia, tahun ini. Minggu pertama Februari lalu, harimau juga menerkam Tugiat (41), operator chainsaw rekanan PT Satria Perkasa Agung (SPA).
Jasad Tugiat ditemukan di Blok K Petak 501, Distrik Simpang Kanan, Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Indragiri Hilir, Riau. Juga bagian dari areal kerja daerah Pulau Muda, Teluk Meranti, Pelalawan. Masih dalam bentangan alam Kerumutan, kantong harimau Sumatera lain di Riau.
Konflik harimau berujung kematian di areal kerja anak perusahaan APP Sinar Mas sudah jadi langganan dari tahun ke tahun. Tak hanya di bentangan alam Kerumutan juga di Giam Siak Kecil.
Habitat tergerus
Dalam diskusi baru-baru ini Mahfud, Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, menyebut, satwa liar terutama gajah dan harimau sebagai satwa kunci makin terdesak karena kehadiran orang-orang yang beraktivitas dalam kawasan konservasi.
Dia bilang, banyak tantangan dalam mengelola kawasan konservasi di Riau dan sebagian di Kepulauan Riau, seluas 439.197,25 hektar itu. Terlebih lagi, dengan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi, BBKSDA Riau harus mengubah paradigma pengelolaan kawasan.
Tantangan utama, katanya, konflik penguasaan hutan dan lahan. Berupa, alih fungsi hutan jadi kebun sawit, baik oleh masyarakat maupun korporasi. Luasnya tak tanggung-tanggung, ratusan sampai ribuan hektar. “Tidak kaget, hampir 1,4 juta hektar kebun sawit ilegal di Riau.”
Tantangan lain, ada pemukiman dalam kawasan konservasi. Seperti di SM Balai Raja, dari luas 15.343, 96 hektar, tak sampai 250 hektar lagi yang berhutan.
Sejak awal, akses pada terbuka ketika ada pengelolaan migas oleh PT Chevron Pasifik Indonesia, sebelum diambil alih Pertamina. Kawasan ini merupakan rumah bagi harimau, gajah dan beruang.
BBKSDA Riau, tengah mengidentifikasi penggunaan kawasan konservasi di luar peruntukan. Targetnya, mendapatkan nama dan alamat penggarap lahan dalam kawasan dilindungi itu.
“Kalau memang ada masyarakat tempatan hidup sebelum ada penunjukkan kawasan konservasi, akan kita sesuaikan melalui revisi blok pengelolaan,” kata Mahfud.
Tantangan berikutnya, penebangan liar. Tidak hanya dalam kawasan konservasi juga pada areal yang masih memiliki pohon bernilai ekonomis. Kejahatan ini, katanya, seringkali terjadi di SM Giam Siak Kecil dan Cagar Alam Bukit Bungkuk.
Tantangan lagi, persoalan kebakaran hutan dan lahan. Hampir semua kawasan konservasi di Riau bergambut yang rentan kebakaran.
Belum lagi, kata Mahfud, sumberdaya manusia yang tak sebanding dengan makin banyak kasus.
Dia juga menyinggung, sekitar 99% konflik satwa dengan manusia terjadi di luar kawasan konservasi. “Artinya, habitat satwa liar sekarang berada di hutan produksi atau areal penggunaan lain. Sebetulnya itu juga habitatnya.”
Di tengah kondisi habitat satwa terus tergerus, BBKSDA Riau berupaya membangun kembali konektivitas habitat supaya tidak terputus. Usaha ini menggandeng semua pemegang konsesi perkebunan maupun hutan tanaman industri. Mereka wajib menyediakan areal perlindungan tempat hidup satwa liar.
Penebangan liar dan perambahan kawasan hutan di GSK yang jadi ancaman dibenarkan Rahmaidi Azani, Direktur Kelompok Advokasi Riau (KAR). Pertengahan 2021, dia menemukan langsung aktivitas itu.
Komet, panggilan akrabnya, mengatakan, titik penebangan liar menembus ke zona inti cagar biosfer GSK. Areal ini berada dalam konsesi PT Satria Perkasa Agung, Grup APP Sinar Mas. Di lokasi itu ada mesin, sawmill dan pondok pekerja.
Potongan kayu hasil olahan berbentuk papan dan balok dihanyutkan lewat kanal. “Informasinya, dalam satu malam 10 truk keluar dari lokasi mulai jam 9.00 malam. Meskipun, kemarin, Kapolda Riau meninjau pakai helikopter dan menangkap ‘anak jenderal’, sampai saat ini aktivitas illegal logging masih berjalan,” ucap Komet.
Areal yang telah ditebang juga berubah jadi kebun sawit. Dilihat dari pola tanam dan ada barak di sekitar kebun, diduga sawit dimiliki korporasi atau pemodal. Kini, dalam dan luar SM GSK sudah terhampar kebun sawit, baik baru buka maupun yang berumur 10 tahun.
Bicara flora dan fauna, Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setyo, mengatakan, tak bisa lepas dari kondisi tutupan hutan.
Masalahnya, sejak 1982-2020, Riau mengalami deforestasi masif. Dari 6,7 juta hektar luas hutan alam tersisa hanya 1,4 juta hektar.
Hutan alam tersisa di wilayah konservasi juga tak lepas dari degradasi. Analisis Jikalahari, ada pengurangan luas hutan di kawasan konservasi 1.800 hektar dalam satu tahun. Paling luas di SM Bukit Batu, SM Rimbang Baling, TN Bukit Tiga Puluh dan TN Tesso Nilo.
Masalah deforestasi, juga tak lepas dari andil korporasi. Okto beri contoh PT Arara Abadi menebang hutan Kepungan Sialang milik Masyarakat Adat Petalangan, Pelalawan. Pohon sialang merupakan rumah bagi lebah yang menghasilkan madu. Hilangnya pohon sialang juga memusnahkan tradisi manumbai dalam masyarakat adat itu.
Selain penebangan hutan, Okto juga senada dengan Mahfud, bahwa karhutla jadi salah satu penyebab kehancuran habitat flora-fauna. Lagi-lagi, masalah ini karena keterlibatan korporasi.
Dia contohkan, sejak 2015 ada 13 perusahaan sawit sudah vonis bersalah karena terjadi kebakaran di lahannya, baik sengaja maupun lalai.
“Poinnya, putusan pengadilan membenarkan bahwa korporasi turut memusnahkan makhluk hidup. Ini juga jadi poin kita untuk berikan keadilan bagi flora-fauna dengan menghentikan kejahatan lingkungan itu.”
Penebangan hutan dan karhutla itulah, katanya, yang berujung menimbulkan konflik satwa-manusia. Mereka mencari makan pada wilayah jelajah yang makin menyempit hingga berhadapan dengan manusia.
Okto juga menyinggung keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan, awal tahun lalu.
“Seharusnya, pemerintah menambah satu alasan lagi ketika mencabut izin perusahaan, yakni, ruang hidup satwa hilang dan konflik yang menyebabkan manusia meninggal. Itu sangat substansial jadi alasan untuk evaluasi perusahaan atau dicabut,” kata Okto. [Mongabay]