NUKILAN.id | Banda Aceh – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Hilmar Farid, menggarisbawahi pentingnya riset mendalam terhadap kekayaan biokultural Aceh dalam kuliah umum kebangsaan yang digelar di Even Hall, Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis, (5/9/2024).
Amatan Nukilan.id di lokasi, Hilmar menyebutkan bahwa Aceh memiliki potensi besar dalam memanfaatkan tanaman langka untuk pengobatan, namun penelitian yang ada masih minim.
“Di Aceh terdapat tanaman langka yang berpotensi besar untuk pengobatan, tetapi risetnya masih minim,” ujar Hilmar dalam pemaparannya.
Hilmar menyoroti bahwa Aceh memiliki ekosistem yang kaya seperti Leuser, Ulu Masen, dan hutan mangrove yang sangat erat kaitannya dengan budaya lokal. Namun, kekayaan ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan sektor kesehatan berbasis kearifan lokal.
Ia mengingatkan bahwa banyak obat modern yang berasal dari pengetahuan tradisional, seperti aspirin dan kina, yang ditemukan melalui riset tanaman. Hal ini, lanjut Hilmar, menunjukkan pentingnya eksplorasi lebih lanjut terhadap biokultural di Aceh dan Indonesia.
“Potensi biokultural Indonesia sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal,” katanya.
Lebih dari sekadar riset, Hilmar menegaskan pentingnya menjaga ketahanan budaya di tengah arus perubahan global yang pesat. Pengelolaan yang baik atas kekayaan biokultural, menurutnya, dapat memperkuat identitas budaya lokal dan mencegah pengaruh asing yang tak sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Selain potensi biokultural, Hilmar juga menyoroti minimnya pendidikan tinggi di bidang kebudayaan di Aceh. Ia menyebut bidang seperti Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Film dan Televisi, serta Tata Kelola Seni sebagai kebutuhan mendesak di daerah ini.
“Pendidikan tinggi dalam bidang kebudayaan di Aceh bukan hanya kebutuhan, tetapi juga menjadi landasan penting agar dapat memanfaatkan biokultural masa depan,” tegas Hilmar.
Untuk itu, Hilmar mendorong kolaborasi antara berbagai pihak di Aceh, seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh, Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan, guna merumuskan kebijakan budaya yang lebih komprehensif. Kerja sama lintas sektor dinilai sangat penting untuk memajukan dan menjaga kekayaan budaya serta biokultural Aceh.
Tak hanya itu, Hilmar juga mengajak masyarakat Aceh untuk berperan aktif dalam inisiatif seni dan budaya. Ia menekankan pentingnya keterlibatan publik, terutama dalam pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya yang lebih inklusif dan dinamis.
“Partisipasi publik juga ditekankan dengan ajakan kepada masyarakat Aceh untuk lebih aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya,” tutup Hilmar. (XRQ)
Reporter: Akil