Diharapkan Jadi Ladang Pendapatan Apa Daya Coretax Malah Jadi Beban

Share

NUKILAN.id | Indepth – Pemerintah telah mengalokasikan anggaran besar senilai Rp1,3 triliun untuk Coretax, sistem administrasi perpajakan yang digadang-gadang menjadi terobosan dalam reformasi pajak. Sayangnya, harapan tersebut belum terwujud. Sejak diluncurkan pada awal Januari 2025, Coretax justru mengalami berbagai kendala teknis yang menghambat kinerja, alih-alih menjadi solusi peningkatan penerimaan negara.

Sistem Inti Administrasi Perpajakan ini telah diperkenalkan kepada publik melalui kampanye masif dalam beberapa bulan sebelum peluncurannya. Namun, sejak resmi dioperasikan, berbagai masalah teknis langsung bermunculan. Momen peluncuran yang semula disambut dengan optimisme pun berbalik menjadi gelombang kritik dan kekecewaan.

Gangguan pada Coretax yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 telah memicu keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk para pakar, Ombudsman, serta anggota DPR. Sistem baru ini menghadapi sejumlah hambatan teknis yang berimbas pada proses pelaporan dan pembayaran pajak, membuat banyak wajib pajak kesulitan dalam menjalankan kewajibannya.

Padahal, konsep di balik Coretax dinilai sangat strategis dan diharapkan mampu menjadi jalur cepat dalam optimalisasi penerimaan pajak. Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak melalui digitalisasi.

Dilansir Nukilan.id dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dr. Rijadh Djatu Winardi, menjelaskan bahwa Coretax bertujuan untuk menekan kesenjangan pajak, meningkatkan rasio pajak, serta memperbaiki kualitas data perpajakan.

Melalui sistem terintegrasi ini, Coretax seharusnya dapat mengakomodasi seluruh proses administrasi, mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pengawasan pajak. Namun, “Ada indikasi bahwa perencanaan pelaksanaan dan mitigasi risiko belum dilaksanakan secara optimal,” ujar Rijadh, seperti dikutip dari situs UGM.

Sejak peluncuran, berdasarkan data dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), hingga pertengahan Januari 2025 telah teridentifikasi sekitar 34 jenis permasalahan. Kendala tersebut mencakup gangguan dalam pembuatan faktur pajak, kesalahan pada aplikasi sertifikat elektronik, kegagalan sinkronisasi data wajib pajak, hingga informasi pajak yang tidak terbarui.

Gangguan Coretax dan Dampaknya pada Pendapatan Pajak

Gangguan layanan Coretax memunculkan kekhawatiran akan dampak besar terhadap keuangan negara.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menargetkan peningkatan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 18%, naik dari sekitar 10% saat ini. Pendapatan pajak yang lebih tinggi diperlukan untuk membiayai berbagai program yang telah dijanjikan, seperti penyediaan makan siang gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil.

Jika penerimaan pajak terganggu, maka program-program tersebut berisiko terhambat. Pemerintah tahun ini menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun, dengan penerimaan pajak ditetapkan mencapai Rp2.490,9 triliun.

Mencapai target ini bukan perkara mudah. Realisasi penerimaan pajak tahun 2024 mengalami shortfall atau tidak mencapai target, sehingga pada 2025 diperlukan peningkatan hingga 11,56 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya.

“Coretax itu salah satu andalan, tapi bukan untuk 2025,” ujar Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di Jakarta, Rabu (12/2/2025).

Sementara itu, di media sosial X, beredar unggahan yang mengklaim bahwa penerimaan negara mengalami penurunan akibat kendala teknis pada Coretax. Dalam sebuah cuitan oleh pengguna X, @gg_02022020, pada Selasa (4/2/2025), terlihat data yang memperkirakan asumsi penerimaan negara sepanjang Januari 2025.

“Berdasar asumsi perhitungan, seharusnya 15 Februari, kas negara akan menerima Rp189,52 triliun, namun gegara Coretax akhirnya hanya menerima 49%-nya saja yaitu sebesar Rp93,24 triliun,” tulis @gg_02022020.

Meski angka tersebut hanya merupakan perkiraan kasar—karena perhitungan pajak tidak bisa sekadar dibagi rata per bulan mengingat pola setoran pajak cenderung lebih rendah di awal periode pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)—namun hal ini mencerminkan kekhawatiran publik terhadap pencapaian target penerimaan pajak.

Wajib Pajak Enggan Bayar

Gangguan pada sistem pajak Coretax yang dikembangkan sejak 2021 tidak hanya berdampak pada pencapaian target penerimaan pajak. Masalah ini juga memengaruhi kualitas layanan serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. Akibatnya, banyak wajib pajak yang enggan memenuhi kewajibannya, yang berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan telah menyampaikan permintaan maaf atas gangguan yang terjadi pada sistem inti administrasi perpajakan yang dibangun oleh konsorsium perusahaan Korea Selatan, LG CNS dan Qualysoft Group. Gangguan ini menyebabkan kesulitan akses bagi para wajib pajak.

“Dengan segala kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas terdapatnya kendala-kendala yang terjadi dalam penggunaan fitur-fitur layanan Coretax DJP yang menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan keterlambatan layanan administrasi perpajakan,” demikian pernyataan yang tertuang dalam keterangan tertulis terkait Implementasi Coretax DJP bernomor KT-02/2025.

Dalam pernyataan yang sama, Ditjen Pajak berjanji untuk segera mengatasi kendala teknis serta memastikan layanan Coretax kembali berfungsi secara optimal. Ditjen Pajak juga menegaskan bahwa para wajib pajak tidak perlu khawatir terkena sanksi administrasi apabila terjadi keterlambatan dalam penerbitan faktur pajak atau pelaporan pajak selama masa transisi sistem.

Namun, sekadar permintaan maaf tampaknya tidak cukup. Ditjen Pajak perlu bertanggung jawab atas permasalahan ini. Sesuai dengan Undang-Undang Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009, kegagalan dalam pelayanan publik seperti yang terjadi pada Coretax dapat berujung pada sanksi administratif bagi pihak penyelenggara, mulai dari teguran hingga pencopotan jabatan. Bahkan, apabila gangguan ini menimbulkan kerugian negara, potensi sanksi pidana atau denda juga dapat diberlakukan.

Sebagai pimpinan Ditjen Pajak, Suryo Utomo berada dalam posisi yang sangat menentukan. Beberapa pihak menilai bahwa kasus ini perlu diusut tuntas, dan ia seharusnya mengundurkan diri atau diganti sebagai bentuk pertanggungjawaban atas permasalahan yang terjadi.

Pada Januari lalu, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mendorong agar dugaan korupsi dalam aplikasi pajak Coretax segera diusut. Ia menilai perlu dilakukan pemeriksaan mendalam untuk memastikan ada tidaknya manipulasi dalam sistem tersebut.

“Ya diperiksa saja, apakah ada manipulasi itu kan yang menyelenggarakan atau yang membuat auditor salah satu, atau dua, empat auditor yang lalu direkomendasikan pemerintah untuk digunakan dari badan internasional. Jadi dicari aja,” ujar Agus, Selasa (21/1/2025).

Agus juga menyoroti ketimpangan dalam kebijakan pajak. Menurutnya, pemerintah selama ini tegas terhadap wajib pajak yang bermasalah, tetapi tidak memberikan sanksi ketika sistem perpajakan yang dibuat justru menyulitkan masyarakat.

“Tidak bayar pajak atau telat atau kurang bayar, kita dikejar-kejar. Sementara pemerintah melakukan kesalahan yang sangat menyulitkan wajib pajak tidak diberi sanksi. Penanggung jawab sistem Coretax harus disanksi,” tegasnya.

Pada 19 Februari lalu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang sebelumnya membela keberadaan Coretax, kini meminta agar sistem tersebut diaudit secara menyeluruh. Menurutnya, sistem yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun namun masih mengalami berbagai kendala perlu dievaluasi.

“Ini perlu dilihat. Makanya, presiden melakukan audit saja, kan boleh lihat di mana kurang lebihnya. Apalagi sekarang Coretax dikembalikan lagi pada sistem yang lama,” ujar Luhut, Rabu (19/2/2025).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo kini tengah menjadi sorotan seiring dengan permasalahan yang muncul dalam penerapan Coretax.

Luhut juga menyoroti rendahnya rasio pajak di Indonesia, yang hingga kini masih stagnan di kisaran 10 persen. Ia menilai kondisi ini perlu menjadi perhatian serius dan segera dicarikan solusinya.

“Hal semacam ini perlu kita jawab dengan melakukan audit, sehingga kita tahu di mana masalahnya,” katanya.

Kini, publik menunggu bagaimana pemerintah akan menangani persoalan ini. Apakah kasus ini akan terus bergulir menjadi isu besar atau justru menghilang begitu saja? Pemerintah dituntut untuk bertindak cepat dan tegas, termasuk meminta pertanggungjawaban pejabat yang terkait. Jika tidak, sistem perpajakan yang diharapkan menjadi pilar utama pembangunan bisa berubah menjadi fondasi yang rapuh dan berisiko runtuh kapan saja. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News