NUKILAN.ID | JAKARTA – Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin S Damanhuri, menilai meski Indonesia telah mencatat berbagai capaian positif dalam 80 tahun perjalanan bangsa, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi pemerintah.
Prof Didin menyebut, usia 80 tahun bisa dianggap panjang atau pendek dalam perspektif sejarah bangsa. Ia mencontohkan, Amerika Serikat membutuhkan waktu dua abad sejak perang utara–selatan hingga menjadi negara adidaya. Begitu pula Eropa, yang sejak era Renaissance butuh waktu dua abad untuk menjadi negara industri maju.
“Namun, pada kasus Korea Selatan, hanya membutuhkan waktu sekitar 75 tahun sejak pemerintahan otoriter Park Chung-Hee jadi demokratis mulai Kim Young Sam,” ujar Didin dalam acara Forum Insan Cita dan Indef, dikutip Selasa (19/8/2025).
“Jadi Indonesia ini, secara umur memang sudah tua. Namun dalam perspektif negara matang secara sosial politik, Indonesia memang kalah oleh Korsel, tapi masih mampu mengejar Amerika maupun Eropa,” tambahnya.
Catatan Positif Indonesia
Menurut Didin, hal yang patut disyukuri adalah Indonesia mampu bertahan tanpa perpecahan hingga usia 80 tahun, meski sempat ada ramalan perpecahan pada negara berbentuk kekaisaran (imperial state) dalam sebuah seminar di Paris.
Selain itu, ia menyebutkan sejumlah capaian lain, mulai dari peningkatan GDP per kapita sebesar 700 persen sejak awal pembangunan ekonomi terencana pada 1970-an hingga sekarang, pesatnya pembangunan infrastruktur perkotaan, hingga terkendalinya jumlah penduduk yang seharusnya bisa mencapai 500 juta pada 2025 namun berhasil ditekan menjadi sekitar 280 juta jiwa.
“Buta huruf usia produktif juga turun drastis, dari sekitar 40 persen menjadi 1,1 persen,” kata Didin.
Ia juga menyoroti perbaikan di bidang kesehatan masyarakat. Penyakit menular yang melemahkan ketahanan sosial hampir hilang, kelaparan yang menyebabkan kematian jarang ditemukan, sementara harapan hidup meningkat dari 50 tahun menjadi 70 tahun.
“Kelas menengah, walaupun pada zaman Pak Jokowi mengalami penurunan, masih di sekitar 45 persen. Dan ini merupakan faktor dinamis yang mendongkrak produktivitas kegiatan perekonomian nasional,” urainya.
Selain itu, desentralisasi paska reformasi turut mengurangi konsentrasi uang di Jakarta dari 75 persen menjadi 65 persen. Reformasi juga membawa penghargaan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan berekspresi dan berorganisasi.
Tantangan Besar ke Depan
Meski begitu, Didin mengingatkan masih ada sejumlah persoalan serius yang harus segera diselesaikan pemerintah. Salah satunya adalah ketimpangan ekonomi.
“Rasio Gini pengeluaran adalah 0,381 (2024), tapi kalau rasio gini pendapatan di atas 0,5. Artinya sangat buruk,” ujarnya.
Ia juga menyoroti tingginya indeks oligarki. “Index Oligarki (Material Power Index) yang pada tahun 2016 masih sekitar 650.000 kali, tahun 2024 sudah 1.065.000 kali, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu yang terburuk di dunia,” kata Didin.
Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi ketergantungan impor kebutuhan pokok, belum mandiri di sektor pangan, energi, finansial, dan bahkan paradigma pembangunan.
Di sisi lain, otonomi daerah dinilai belum memberikan kesejahteraan merata bagi masyarakat di daerah.
“Salah satu yang menjadi tantangan besar juga adalah, korupsi bersifat sistemik dan masif. Kebocoran pada pemerintahan Orba, dengan ICOR analisis, itu ada pada angka rata-rata 30 persen. Namun, pada paska reformasi sudah sekitar 40 persen,” tandasnya.
Editor: Akil