Nukilan.id – Permasalahan penangkapan ikan tak bertanggung jawab yang kita kenal selama ini ialah ilegal fishing atau penangkapan secara ilegal, juga soal penangkapan berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan populasi ikan. Selain itu ada juga penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing). Aktivitas semacam ini tentunya dapat merugikan kelestarian ekosistem perairan.
Destructive fishing sebenarnya bukan sesuatu yang asing di Indonesia karena kasusnya memang terjadi di beberapa wilayah. Dampak dari kegiatan ini pun begitu nyata. Sebagai salah satu cara penanganan masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun telah menyusun daftar alat penangkap ikan (API) yang dilarang maupun yang diperbolehkan dalam Peraturan Menteri KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP-NRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.
Sebenarnya seperti apa destructive fishing dan apa dampaknya bila cara penangkapan ini terus berlanjut? Berikut penjelasannya:
Mengenal cara kerja destructive fishing
Destructive fishing merupakan cara penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti bom ikan atau bahan beracun yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Menurut KKP, terdapat tiga jenis aktivitas destructive fishing yaitu penangkapan ikan dengan penggunaan racun potas (cyanide fishsing), penangkapan ikan menggunakan bom (dynamite fishing), serta penangkapan ikan menggunakan setrum.
Berdasarkan hasil pengawasan Dirjen PSDKP (Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan), penangkapan ikan dengan penggunaan racun potas kerap dilakukan nelayan lokal dan memanfaatkan racun alami dari daun dan akar tuba sebagai racun ikan. Ada pula nelayan yang menggunakan racun dari insektisida hingga sodium sianida.
Mengapa penangkapan ikan dengan cara merusak ini begitu marak? Karena dengan menggunakan bom ikan dapat memberi keuntungan bagi pelaku. Hasil tangkapan jadi lebih banyak, cepat, dan caranya mudah. Bahkan dalam sekali pengeboman ikan, hasil tangkapan ikan bisa lebih dari seribu kilogram.
Dari temuan KKP pada kasus destructive fishing di Indonesia. Sepanjang tahun 2013-2019 telah ditemukan 40 kasus pengggunaan racun untuk menangkap ikan. Menurut penelitian World Bank tahun 1996, penggunaan bom seberat 250 gram dapat menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 meter persegi.
Kegiatan ini tentu dilarang dan diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, disebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, menggunakan alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu serta merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan.
Jika diketahui dan terbukti, orang yang melakukan hal tersebut akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar
Kasus destructive fishing di Indonesia
Pada tahun 2013-2019, hasil temuan KKP menyatakan bahwa aktivitas pengeboman ikan hampir terjadi di seluruh provinsi. Dari total 653 kasus yang ditemukan, ada beberapa wilayah yang paling rawan terjadi destructive fishing, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Papua, Jawa Timur, dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Sulawesi Selatan merupakan daerah yang paling sering terjadi kasus pengeboman ikan, yaitu 471 kasus sepanjang 2013-2019. Menurut penuturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksda TNI Adin Nurawaluddin, selama tahun 2021, pihaknya tekah menangkap sebanyak 114 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 53 kapal asing yang kedapatan mencuri ikan. KKP juga telah menangkap 96 pelaku penangkapan ikan dengan cara yang merusak.
Kebanyakan pelaku adalah nelayan kecil yang menggunakan bom rakitan. Pembuatan bom sendiri terdiri dari sumbu, pupuk, dan botol bir atau soda yang menghasilkan daya ledak untuk menghancurkan terumbu karang.
Pihak KKP juga telah merancang berbagai strategi untuk mengatasi persoalan di bidang perairan dan kelautan. “Prinsipnya kita akan awasi dari kapal sebelum berangkat (before fishing), pada saat di laut (while fishing) dan setelah ikan hasil tangkapan didaratkan (post landing),” terang Adin.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini, menjelaskan aturan mengenai alat tangkap yang diperbolehkan. Kelompok alat tangkap yang diperbolehkan antara lain kelompok jaring lingkar, kelompok jaring tarik, kelompok jaring hela, penggaruk, jaring angkat, alat tangkap yang dijatuhkan atau ditebar, jaring insang, kelompok perangkap, dan kelompok alat pancing.
Meski diizinkan, penggunaan alat tangkap tetap perlu mengikuti aturan dan juga mempertimbangkan alokasi sumber daya ikan. Jika di suatu wilayah sudah dieksploitasi berlebihan, maka penggunaan alat tangkap bisa saja dilarang.
Dampak destructive fishing
Menurut pengawasan Dirjen PSDKP, penggunaan racun untuk menangkap ikan ternyata memiliki dampak yang lebih parah ketimbang bom ikan. Pembiusan yang dilakukan untuk menangkap ikan hias dampaknya lebih besar dari pembiusan ikan terhadap ikan karang untuk konsumsi. Hal ini terjadi karena titik penyemprotan racun untuk menangkap ikan hias akan lebih memperhatikan arus air, sehingga racun lebih banyak mengenai tubuh karang.
Sementara untuk penggunaan setrum, akan menimbulkan efek kejut sehingga ikan pingsan bahkan mati. Lebih lanjut dampaknya akan merusak keberlanjutan populasi ikan di area tersebut. Pada 2013-2019, ditemukan 77 kasus penangkapan ikan menggunakan setrum di seluruh Indonesia.
Menurut penjelasan ahli bidang kelautan dan perikanan, Adi N.T Langga, S.Pi, M.Si, M.Sc, bom ikan dapat membuat kematian massal pada algae bersel satu yang hidup dalam jaringan tubuh karang. Algae tersebut bersimbiosis dengan hewan pembentuk terumbu karang sebagai penghasil utama oksigen dan nutrisi melalui proses fotosintesis.
Kata Adi, terumbu karang yang rusak karena peledak dapat pulih kembali. Namun, butuh waktu lama. Dalam kondisi perairan yang baik, pembentukan 1 cm terumbu karang perlu waktu sekitar satu tahun. Maka untuk membentuk 100 cm terumbu karang butuh waktu hingga 100 tahun.
Dampak dari pengeboman ikan ini juga dapat mengganggu keseimbangan ekologi, di mana rantai makanan di laut ikut terganggu. Kerusakan terumbu karang berakibat terjadinya pengurangan populasi biota penghuni terumbu karang, kemudian akan memengaruhi populasi predator. Lebih lanjut lagi, hal ini bisa menyebabkan organisme punah perlahan maupun massal. [GNFI]