NUKILAN.id | Feature – Di bawah langit senja yang menggelap di Aceh, suara tabuhan rapa’i menggema, memecah keheningan desa. Alunan itu menyelusup lembut ke sela-sela pepohonan, memantul di dinding-dinding rumah kayu, dan menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Di tengah lingkaran itu, para seniman memainkan musik yang bukan hanya bunyi, tetapi juga cerita—cerita tentang Aceh, tentang perjuangan, dan tentang keimanan.
Musik khas Aceh adalah warisan yang menyatu dengan denyut nadi masyarakatnya. Ia bukan sekadar hiburan, tetapi penghubung dengan masa lalu, cermin nilai-nilai yang hidup, dan doa yang berwujud bunyi. Dari rapa’i hingga seudati, dari dabus hingga hikam, tradisi ini menyimpan riwayat panjang yang terus bergema meski zaman berubah.
Musik Aceh berakar pada hikayat-hikayat yang telah dilantunkan sejak masa kesultanan. Di masa itu, syair-syair penuh makna menjadi medium untuk menyampaikan kisah epik, nilai moral, dan dakwah Islam.
“Musik Aceh lahir dari hati,” kata Teungku Ibrahim, seorang pelestari tradisi musik yang kutemui di Banda Aceh. “Ia adalah cara kami berbicara kepada Tuhan, berbagi dengan sesama, dan menghormati leluhur.”
Salah satu bentuk tertua adalah hikayat, yang sering dinyanyikan dengan iringan alat musik tradisional seperti rapa’i atau serune kalee. Dalam Hikayat Perang Sabil, misalnya, bait-bait syair memuat semangat jihad dan keimanan, membakar jiwa rakyat Aceh saat melawan penjajah Belanda.
“Syair-syair itu tidak hanya indah,” lanjut Teungku Ibrahim, “tetapi juga mengandung pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang beriman dan berani.”
Rapa’i: Suara yang Menghidupkan Tradisi
Jika musik Aceh adalah sebuah tubuh, maka rapa’i adalah jantungnya. Alat musik ini berbentuk rebana besar yang terbuat dari kayu dan kulit kambing. Tabuhannya ritmis, dalam, dan menggugah.
“Setiap pukulan rapa’i adalah doa,” ujar Mak Syamsul, seorang pemain rapa’i yang sudah berpuluh tahun mengabdikan diri pada alat musik ini.
Mak Syamsul menunjukkan kepadaku sebuah rapa’i pasee, jenis rapa’i yang digunakan dalam pertunjukan adat. Ia menjelaskan bahwa cara memukul rapa’i tidak sembarangan. Ada pola-pola khusus yang diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan keahlian sekaligus rasa hormat kepada tradisi.
Di sebuah pertunjukan yang kuhadiri di Aceh Besar, delapan pria duduk melingkar, masing-masing dengan rapa’i di tangan. Tabuhan mereka berpadu dengan suara lantang seorang penyanyi yang melantunkan syair tentang keagungan Tuhan. Di sekitar mereka, para penonton mendengarkan dalam diam, hanyut dalam keindahan dan makna yang dibawakan.
Seudati: Menari dalam Doa
Jika rapa’i adalah musiknya, maka seudati adalah tariannya. Seudati berasal dari kata Arab syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Tarian ini bukan sekadar gerakan tubuh, tetapi juga pengakuan iman.
Aku menyaksikan pertunjukan seudati di sebuah desa di Pidie. Delapan pria berdiri dalam formasi lingkaran, mengenakan pakaian serba putih yang kontras dengan ikat kepala berwarna merah. Gerakan mereka tegas, serempak, penuh semangat, sementara suara mereka melantunkan syair yang sarat dengan pesan moral.
“Setiap gerakan seudati punya makna,” kata Pak Yusuf, pemimpin grup tari tersebut. “Ada gerakan yang melambangkan keberanian, ada yang melambangkan rasa syukur kepada Allah.”
Dahulu, seudati sering ditampilkan dalam upacara keagamaan atau perayaan adat. Namun, kini tarian ini juga dipentaskan di berbagai festival, menjadi kebanggaan Aceh di kancah nasional maupun internasional.
Dabus: Seni, Keimanan, dan Keberanian
Di Aceh, musik dan tarian sering kali berpadu dengan seni lainnya. Salah satunya adalah dabus, pertunjukan yang menggabungkan musik, tari, dan atraksi ketangkasan fisik.
Dalam sebuah pertunjukan dabus yang kuhadiri di Lhokseumawe, para pemain menunjukkan kekuatan luar biasa dengan menusukkan benda tajam ke tubuh mereka tanpa terluka. Diiringi tabuhan rapa’i dan syair zikir, aksi itu bukan sekadar unjuk keberanian, tetapi juga bukti keimanan mereka.
“Ini adalah bentuk tawakal,” kata Pak Ahmad, seorang pemain dabus. “Kami percaya bahwa Allah melindungi kami selama niat kami tulus.”
Pertunjukan dabus sering kali memukau, tetapi ia juga mengandung pesan spiritual yang dalam. Di balik aksi yang tampak ekstrem itu, ada pelajaran tentang kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan pada kuasa Ilahi.
Menghidupkan Tradisi di Tengah Modernitas
Meski kaya akan nilai budaya dan spiritual, tradisi musik Aceh menghadapi tantangan besar di era modern. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada musik populer, sementara teknologi dan globalisasi semakin mendominasi ruang budaya.
“Anak-anak sekarang tidak banyak yang mau belajar rapa’i atau seudati,” kata Teungku Ibrahim dengan nada sedih. “Mereka bilang itu kuno dan terlalu sulit.”
Namun, harapan belum sepenuhnya sirna. Beberapa komunitas dan seniman muda mulai bergerak untuk melestarikan tradisi ini. Mereka mengadakan pelatihan, festival, dan pertunjukan yang menggabungkan elemen tradisional dengan sentuhan modern.
“Saya ingin musik Aceh tetap hidup,” kata Faisal, seorang musisi muda yang mencoba memasukkan elemen rapa’i ke dalam lagu-lagu pop. “Karena di sana, saya menemukan jati diri saya sebagai orang Aceh.”
Selain usaha individu, pemerintah dan organisasi budaya juga mulai memberi perhatian lebih pada pelestarian musik tradisional Aceh. Festival seni seperti Pekan Kebudayaan Aceh menjadi ajang untuk memperkenalkan kekayaan budaya ini kepada generasi muda dan wisatawan.
Aku menghadiri salah satu festival tersebut di Banda Aceh, di mana musik rapa’i, tarian seudati, dan atraksi dabus ditampilkan secara megah. Suasana malam itu penuh dengan kebanggaan dan rasa haru, mengingatkan semua orang akan pentingnya menjaga warisan ini.
Sebuah Warisan yang Harus Dijaga
Ketika malam semakin larut, suara rapa’i yang kudengar di awal hari perlahan mereda. Namun, gema syair dan musik itu masih terasa, bergetar di dalam hati. Aku sadar bahwa musik khas Aceh adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar seni. Ia adalah cara masyarakatnya merawat ingatan, menjaga iman, dan menyatukan jiwa.
Di tengah dunia yang terus berubah, tradisi ini membutuhkan penjaga. Ia membutuhkan tangan-tangan yang bersedia memukul rapa’i, kaki-kaki yang menari dalam irama seudati, dan suara-suara yang melantunkan syair penuh makna.
Karena selama ada yang mendengarkan, dendang syair Aceh tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan terus hidup, mengalir seperti sungai yang abadi, membawa sejarah dan keindahan tanah Rencong ke masa depan.