NUKILAN.id | Opini – Pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hutan dan lingkungan dari eksploitasi korporasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: negara membuka pintu negosiasi bagi perusahaan perusak lingkungan dengan skema denda alih-alih sanksi pidana. Celah hukum ini tidak hanya melanggengkan perusakan ekosistem, tetapi juga menciptakan ruang gelap bagi praktik korupsi.
Penggeledahan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024 menandai adanya indikasi penyelewengan dalam mekanisme pemutihan lahan sawit ilegal. Salah satu yang disasar adalah ruang kerja Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK saat itu. Puluhan aparatur sipil negara diperiksa, namun hingga kini belum ada satu pun tersangka yang diumumkan, meski Jaksa Agung Sanudin mengklaim telah mengantongi nama-nama pejabat terlibat.
Akar permasalahan ini bermula dari Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 2020. Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memberikan peluang bagi perusahaan yang telah merambah hutan untuk dilegalkan asal membayar denda dan dana reboisasi. Pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari skema ini mencapai Rp300 triliun. Namun, faktanya, realisasi dana yang masuk tidak lebih dari Rp100 miliar.
Salah satu faktor utama rendahnya penerimaan ini adalah keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pada Juni 2023 yang memberi celah bagi perusahaan untuk menekan luas lahan yang dianggap bermasalah dan menegosiasikan nilai dendanya. Bukannya mengawal penegakan hukum, negara justru terjebak dalam permainan transaksional dengan korporasi.
Fenomena ini adalah bentuk nyata dari state capture corruption, di mana kebijakan dan regulasi dibuat demi kepentingan segelintir elite bisnis. Penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan teknisnya telah dikendalikan oleh kepentingan oligarki yang ingin menghindari jerat pidana. Dalam skema ini, negara tak lagi bertindak sebagai pengayom rakyat, melainkan sebagai fasilitator kepentingan bisnis yang merusak lingkungan.
Preseden buruk ini berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto, yang menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Regulasi ini meluaskan mekanisme denda ke sektor pertambangan di kawasan hutan, dengan dalih bahwa setelah membayar denda, pemerintah akan mengambil alih kembali lahan tersebut sebagai hak negara. Namun, langkah ini justru membuka peluang baru bagi eksploitasi.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menindaklanjuti kebijakan ini dengan menerbitkan aturan pemanfaatan lahan bekas sawit dan tambang untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Alih-alih menegakkan keadilan lingkungan, aturan ini justru menjadi celah baru bagi pengambilalihan lahan oleh kepentingan lain di bawah dalih keamanan nasional.
Tanpa transparansi dan penegakan hukum yang tegas, skema denda hanya menjadi alat barter bagi pengusaha dan penguasa. Jika negara serius ingin melindungi lingkungan, sanksi pidana harus menjadi opsi utama. Denda semestinya bersifat tambahan, bukan pengganti hukuman bagi perusahaan yang merusak hutan. Jika praktik ini terus dibiarkan, bukan hanya lingkungan yang hancur, tetapi juga wibawa hukum dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. (XRQ)
Penulis:Â Akil