NUKILAN.id | Banda Aceh – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Banda Aceh menggelar diskusi kelompok terarah (FGD) bertajuk Optimisme Keberlanjutan Penanggulangan Radikalisme sebagai Wujud Perdamaian Bangsa. Kegiatan ini menjadi wadah bagi akademisi, pakar, dan mahasiswa untuk membedah ancaman radikalisme serta merumuskan strategi pencegahan yang efektif.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini, Ketua IKAT Aceh Khalid Mudatstsir, Mantan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh Dr. Mukhlisuddin Ilyas, serta Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Ar-Raniry Prof. Kamaruzzaman. Mereka menegaskan bahwa radikalisme bukan sekadar ancaman terhadap keamanan nasional, tetapi juga berbahaya bagi kebebasan berpikir di lingkungan akademik.
Ancaman Radikalisme dan Pola Rekrutmen
Dalam paparannya, Khalid Mudatstsir menjelaskan bahwa kelompok radikal sering kali memanfaatkan agama sebagai kedok untuk kepentingan politik. Ia menekankan bahwa mahasiswa merupakan kelompok yang rentan karena masih dalam proses pencarian identitas.
“Radikalisme telah ada sejak zaman Rasulullah, dengan kelompok tertentu yang menyalahgunakan agama demi kepentingan politik. Pemahaman agama yang sempit dan belajar secara otodidak sering kali menjadi penyebab utama seseorang terjerumus dalam radikalisme,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Dr. Mukhlisuddin Ilyas menyoroti bahwa media sosial kini menjadi sarana utama bagi kelompok radikal dalam menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru.
“Perempuan, anak-anak, dan mahasiswa adalah kelompok yang paling rentan direkrut oleh jaringan radikal. Media sosial kini menjadi alat utama bagi kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda mereka,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa intoleransi merupakan gerbang awal menuju radikalisasi, sehingga pendidikan toleransi harus diperkuat sejak dini.
Sementara itu, Prof. Kamaruzzaman menguraikan bahwa pergeseran metode rekrutmen dari pendekatan fisik ke digital semakin memperumit upaya pencegahan radikalisme.
“Metode rekrutmen kelompok radikal telah bergeser dari perekrutan fisik ke digital,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa Aceh sempat diprediksi menjadi basis utama gerakan radikal di Asia Tenggara, sehingga upaya pencegahan harus terus diperkuat.
Pendidikan sebagai Benteng Pencegahan
Para pembicara sepakat bahwa pendidikan memainkan peran kunci dalam membendung pengaruh radikalisme. Penanaman nilai-nilai toleransi dan keberagaman harus dilakukan sejak dini, baik di lingkungan akademik maupun sosial. Selain itu, deradikalisasi harus dilaksanakan secara sistematis dengan melibatkan ulama, komunitas, serta dukungan pemerintah agar individu yang telah terpapar dapat kembali ke jalan moderat.
Presiden Mahasiswa UIN, Habibie, berharap diskusi ini mampu meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap bahaya radikalisme serta pentingnya berpikir kritis dalam menyaring informasi.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami bahaya radikalisme, tetapi juga memiliki peran aktif dalam mencegah penyebaran ideologi radikal di lingkungan akademik dan sosial,” tutupnya.
Acara ini menjadi salah satu upaya konkret DEMA UIN Banda Aceh dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kebebasan berpikir dan keberagaman sebagai pilar utama dalam kehidupan berbangsa.
Editor: Akil