DEMA UIN Ar-Raniry Desak Pembatalan Pengalihan Empat Pulau Aceh ke Sumut

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry mengecam keras keputusan sepihak Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang menetapkan empat pulau milik Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil—selama ini secara historis, geografis, dan administratif telah menjadi bagian dari wilayah Aceh.

Namun, secara mengejutkan, keempat pulau itu dialihkan tanpa melalui proses yang terbuka dan partisipatif. DEMA UIN Ar-Raniry menilai langkah pemerintah pusat tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap otonomi khusus Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006) serta perjanjian damai Helsinki.

Sekretaris Jenderal DEMA UIN Ar-Raniry, Surya Ramadhan, dalam pernyataan resminya menyebut bahwa tindakan tersebut adalah bentuk penjajahan administratif dan pengkhianatan terang-terangan terhadap Aceh. Menurutnya, apa yang sedang terjadi bukan sekadar soal teknis pemetaan wilayah.

“Kita tidak sedang berbicara tentang garis di atas peta. Kita sedang berbicara tentang tanah, marwah, dan kedaulatan Aceh. Pengalihan wilayah ini adalah bentuk penjajahan gaya baru yang mengabaikan sejarah, mencederai perjanjian damai, dan melecehkan martabat rakyat Aceh,” tegasnya.

Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyarankan pihak yang tidak setuju agar menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga mendapat kecaman tajam dari mahasiswa. Menurut DEMA UIN Ar-Raniry, pernyataan tersebut mencerminkan sikap arogan dan seolah cuci tangan terhadap masalah serius yang menyangkut harga diri Aceh.

“Ini bukan soal gugatan administratif. Ini soal penghinaan terhadap wilayah Aceh. Jelas tanah kami dialihkan ke Sumut, dan bukti data dokumen sudah jelas itu milik Aceh, untuk apa lagi ke PTUN. Kami butuh pengakuan bahwa tanah kami dirampas dan harus segera dikembalikan,” ujar Surya dengan nada geram.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah administratif biasa, melainkan entitas yang memiliki sejarah panjang perjuangan dan kedaulatan. Aceh pernah menjadi kerajaan besar yang tidak tunduk begitu saja pada kekuasaan luar.

“Kalau tanah Aceh terus dirampas, maka pernyataan Wakil Gubernur Aceh yang menyebut ‘tidak ada lagi kata Aceh Merdeka’ harus ditarik kembali. Perampasan ini bukan hanya memancing amarah, tetapi bisa menyulut semangat yang selama ini ditekan. Jangan salahkan rakyat jika mereka kembali menoleh ke jalan yang pernah mereka tempuh dahulu,” jelas Surya.

Ia juga menyayangkan sikap Pemerintah Aceh yang dinilai pasif dan cenderung kompromistis terhadap keputusan pemerintah pusat. DEMA UIN Ar-Raniry menyebut bahwa elite pemerintah daerah telah kehilangan nyali dan jati diri dalam menjaga kehormatan wilayahnya sendiri.

“Saat pusat menindas, dan daerah memilih diam, maka yang muncul bukan perdamaian, tapi perlawanan. Pemerintah Aceh telah gagal melindungi tanahnya,” katanya.

Menurut Surya, kasus pengalihan empat pulau ini bukan sekadar persoalan batas wilayah administratif. Lebih dari itu, ini adalah ujian terhadap eksistensi Aceh sebagai daerah dengan status otonomi khusus yang dijanjikan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika wilayah bisa begitu saja diambil alih, katanya, maka yang terancam bukan hanya pulau-pulau kecil, tetapi juga masa depan Aceh itu sendiri.

“Hari ini empat pulau. Besok bisa saja wilayah pesisir, hutan, gunung, bahkan laut lepas Aceh diklaim dan dikuasai oleh provinsi lain. Jika kita diam hari ini, kita sedang menyerahkan anak cucu kita kepada pengkhianatan yang lebih besar di masa depan. Ini bukan saatnya pasrah. Ini saatnya melawan secara cerdas, terorganisir, dan menyeluruh,” ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa saat ini pihaknya tengah membangun konsolidasi dengan elemen gerakan mahasiswa lintas kampus di Aceh, tokoh adat, kalangan akademisi, serta jaringan masyarakat sipil. Tujuannya, kata Surya, adalah menyusun langkah-langkah strategis dalam menolak dan melawan keputusan tersebut.

“Kami tidak akan berhenti di meja pernyataan. Kami sedang mengonsolidasikan gerakan. Bila pemerintah pusat dan daerah tetap tutup telinga, maka Aceh akan kembali bicara dengan suara yang tidak bisa dibungkam. Ini akan menjadi gelombang besar, bukan karena kami benci NKRI, tapi karena kami cinta Aceh,” tegasnya.

Surya mengingatkan bahwa Aceh telah memilih jalan damai setelah konflik panjang, tetapi perdamaian bukan berarti membiarkan diri dilemahkan oleh penindasan baru yang dibungkus dalam kebijakan administratif.

“Jangan salah membaca diam kami sebagai lemah. Jangan mengira sabar kami sebagai setuju. Kami masih bangsa yang berakar pada sejarah, masih rakyat yang menjunjung martabat. Maka, sebelum semuanya terlambat, batalkan keputusan itu. Kembalikan tanah kami. Hentikan penghinaan terhadap Aceh,” pungkasnya.

Editor: Akil

spot_img
spot_img

Read more

Local News