Nukilan.id – Anggota DPRA Darwati A Gani minta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh untuk memperpanjang eksistensi lembaga Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA) yang akan berakhir Januari 2022.
“Seharusnya diperpanjang (lembaga KPPAA), mengingat kasus kekerasan anak semakin tinggi,” kata Darwati A Gani di Banda Aceh, Senin (17/1/2022).
Terkait hal ini, kata Darwati, dirinya pernah melakukan koordinasi dengan Biro Hukum Pemerintah Aceh, dan disampaikan bahwa KPPAA tidak mungkin dibubarkan karena telah memiliki payung hukum.
Hanya saja, lanjut Darwati, permasalahannya karena tidak ada alokasi anggaran pada 2022 untuk eksistensi lembaga pengawasan dan perlindungan perempuan dan anak tersebut.
“Tidak tau juga di mana masalahnya, saya yakin pasti ada kealpaan, tidak mungkinkan Pemerintah Aceh Ā tidak mau menyediakan dana untuk perlindungan anak Aceh, untuk perlindungan satwa aja ada,” ujarnya.
Karena itu, Darwati berharap DP3A segera menindaklanjuti permasalahan tersebut, dan segera membentuk panitia seleksi komisioner yang baru.
“Mudah-mudahan segera dibentuk pansel untuk proses pemilihan kepengurusan yang baru (apakah ini wewenang DPRA komisi V atau DP3A),” kata Darwati.
Darwati menambahkan, sejauh ini KPPAA dan semua stakeholder lainnya sudah bekerja dengan baik, namun karena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh semakin meningkat, maka semuanya dituntut bekerja lebih ekstra lagi.
Sementara itu, Komisi KPPAA Firdaus Nyak Idin menyampaikan, berdasarkan SK (Surat Keputusan) masa kerja mereka akan berakhir pada akhir Januari 2022, dan berdasarkan pelantikan berakhir pada akhir Februari 2022.
Namun, kata Firdaus, mereka sudah mendapatkan informasi bahwa Pemerintah Aceh tidak bersedia melanjutkannya.
“Sudah ada kabar, DP3A Aceh tidak bersedia melanjutkan dukungan kelembagaan KPPAA,” kata Firdaus.
Firdaus menuturkan, berdasarkan informasi dari DP3A, tidak dilanjutkannya lembaga ini karena hasil kajian mereka tupoksi KPPAA sama dengan UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak).
“Kemudian, alasannya anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Aceh ke DP3A tidak cukup. Sehingga harus ada program yang tidak mendapatkan alokasi dana,” demikian Firdaus. [Antara]