NUKILAN.id | Opini – Pelantikan Haikal Hasan Baras, yang dikenal sebagai Babe Haikal, sebagai Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) oleh Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menjadi sorotan di media sosial. Penunjukan ini menggugah perdebatan hangat, terutama mengingat latar belakangnya yang erat kaitannya dengan Gerakan PA 212 dan dukungannya terhadap Rizik Shihab. Di tengah sorotan publik yang penuh skeptisisme, penting untuk merenungkan bagaimana posisi baru ini dapat mempengaruhi kebijakan sertifikasi halal di Indonesia.
Haikal Hasan bukanlah wajah baru dalam dunia politik dan sosial. Sebagai salah satu tokoh penting dalam gerakan yang berupaya menghentikan langkah Ahok sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2016, ia telah berkontribusi dalam dinamika politik yang melibatkan kelompok-kelompok konservatif di Indonesia. Namun, dengan latar belakang itu, banyak pihak mempertanyakan kelayakannya untuk memimpin lembaga yang berfokus pada jaminan produk halal.
Di media sosial, muncul beragam reaksi terhadap penunjukan Haikal. Banyak netizen mempertanyakan rekam jejak dan kemampuan Haikal dalam mengelola lembaga yang memiliki peranan krusial dalam sertifikasi halal. Apakah ia mampu membawa perubahan yang diharapkan atau justru membawa agenda kelompok tertentu ke dalam pemerintahannya? Pernyataan lama Haikal yang berisi tekad untuk menjadi oposisi hingga mati kembali menjadi sorotan, menambah keraguan terhadap niat dan komitmennya.
Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa penunjukan Haikal tidak semata-mata mencerminkan kedekatannya dengan Rizik Shihab atau PA 212. Hubungan tersebut lebih bersifat pragmatis dan politis, ketimbang ideologis. Sejak keluar dari organisasi tersebut pada tahun 2018, Haikal tampak berupaya menjauhkan diri dari stigma yang melekat pada kelompok itu. Dalam konteks ini, apakah dia dapat berfungsi sebagai pemimpin yang netral dan berfokus pada jaminan halal, atau justru membawa isu-isu intoleransi ke dalam lingkup pemerintah?
Kendala dalam proses sertifikasi halal di Indonesia selama ini memang mengundang perhatian. Banyak pihak, termasuk akademisi seperti Syafi Hasyim, menyatakan bahwa proses ini tidak memenuhi standar yang diharapkan. Keberadaan Haikal, yang dinilai belum memiliki landasan keilmuan yang kuat dalam bidang tersebut, menjadi tanda tanya besar. Apakah ia bisa memberikan terobosan baru dalam tata kelola sertifikasi halal, atau justru semakin menjauhkan kita dari tujuan tersebut?
Prabowo Subianto sebagai pemimpin tentu menyadari risiko yang diambilnya dengan menunjuk Haikal. Dalam pemerintahan yang terbuka untuk evaluasi dan perubahan, kualitas kerja Haikal akan menjadi penilaian utama. Jika hasil kerjanya tidak memenuhi ekspektasi, bukan tidak mungkin posisi tersebut akan dipertimbangkan kembali.
Pada akhirnya, kehadiran Haikal dalam kabinet Prabowo tidak serta merta merepresentasikan kelompok intoleran atau Rizik Shihab. Ia lebih merupakan loyalis yang memiliki hubungan saling percaya dengan Prabowo. Masyarakat perlu memberi kesempatan kepada Haikal untuk membuktikan kapasitasnya dalam menjalankan tugas baru ini. Namun, harapan untuk menjunjung tinggi integritas dalam sertifikasi halal harus tetap diingat sebagai tuntutan dari publik yang menginginkan kepastian dan kualitas dalam produk halal.
Waktu yang akan menjawab segala keraguan ini. Jika Haikal mampu memenuhi harapan publik dan membawa perubahan positif dalam proses sertifikasi halal, mungkin saja kehadirannya di kabinet dapat dianggap sebagai langkah strategis. Namun, jika sebaliknya, kritik yang dilontarkan saat ini akan menjadi pertanda bahwa penting bagi pemerintah untuk lebih selektif dalam memilih pemimpin lembaga penting seperti BPJPH demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)