Danantara: Jalan Terjal Menuju Kapitalisme Negara Ala Prabowo

Share

NUKILAN.id | Opini – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah mengambil langkah besar dan berisiko dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan membentuk Badan Pengelola Prestasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), Prabowo tidak sekadar melakukan penswastaan, tetapi menciptakan sebuah entitas yang menyerupai ekonomi terpimpin dengan nuansa militaristik. Namun, alih-alih memperkuat ekonomi nasional, langkah ini justru berpotensi menggoyahkan kepercayaan pasar global.

Undang-Undang BUMN yang disahkan pada 4 Februari 2025 menetapkan bahwa Danantara akan menguasai 99% saham perusahaan negara, sementara 1% sisanya dipegang oleh Kementerian BUMN. Artinya, lembaga ini akan memiliki kendali penuh atas seluruh aset BUMN, termasuk dividen yang selama ini menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2024, dividen dari 65 BUMN yang masuk ke kas negara mencapai Rp85,5 triliun dari total aset Rp10.402 triliun yang mereka kelola. Dengan skema baru, dana tersebut akan langsung dikelola oleh Danantara sebagai investasi, bukan lagi masuk ke kas negara.

Kebijakan ini membawa implikasi besar. Pertama, status hukum perusahaan-perusahaan BUMN akan berubah, sehingga tidak lagi dianggap sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Direksi dan komisaris di bawah Danantara pun tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang tunduk pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka juga dibebaskan dari kewajiban melaporkan harta kekayaan, baik sebelum maupun sesudah menjabat. Perlindungan ekstra ini disebut sebagai upaya menghindari kriminalisasi atas keputusan bisnis, namun pada saat yang sama membuka celah besar bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih dari itu, Danantara menghapus kewajiban BUMN untuk berhubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tidak lagi menjadi objek audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan ini hanya akan diaudit oleh kantor akuntan publik seperti layaknya perusahaan swasta. Audit oleh BPK hanya dimungkinkan dalam kasus investigasi khusus dan harus melalui izin DPR. Dengan kata lain, skema ini menghilangkan mekanisme checks and balances yang menjadi syarat utama tata kelola perusahaan yang baik.

Dampaknya sudah mulai terasa di pasar. Bahkan sebelum Danantara resmi diluncurkan pada 24 Februari 2025, kepercayaan investor terhadap BUMN mulai goyah. Harga saham perusahaan-perusahaan pelat merah mengalami penurunan signifikan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) melemah 4,75%, Bank Mandiri anjlok 16,07%, dan Bank Negara Indonesia (BNI) turun 8,59%. Sementara itu, saham BUMN non-bank seperti PT Semen Indonesia Tbk juga merosot 22,49%. Reaksi pasar ini menunjukkan ketidakpastian investor terhadap masa depan pengelolaan BUMN di bawah Danantara.

Jika ditelusuri lebih jauh, Danantara merupakan cerminan ambisi lama Prabowo yang diwarisi dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo. Pada 1980-an, Sumitro—yang pernah menjabat sebagai menteri ekonomi di era Orde Lama dan Orde Baru—mengusulkan pembentukan lembaga investasi yang mengelola 1-5% laba BUMN. Namun, gagasan ini ditolak oleh Menteri Keuangan kala itu, J.B. Sumarlin. Sumitro kemudian membagikan idenya kepada pemerintah Malaysia, yang akhirnya melahirkan Khazanah Nasional Berhad pada 1993.

Prabowo sendiri mengonfirmasi inspirasi tersebut dalam bukunya, Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022). Dalam buku itu, ia menyoroti bagaimana kekayaan Indonesia lari ke luar negeri akibat sumber daya alam yang tidak dikelola oleh perusahaan negara. Ia mengagumi reformasi ekonomi yang dilakukan Deng Xiaoping di China pada 1978 dengan membentuk 150.000 BUMN yang mengendalikan sumber daya negara. Menurut Prabowo, cara untuk menyaingi ekonomi China adalah dengan menerapkan kapitalisme negara melalui penguatan peran BUMN dan reformasi politik menuju demokrasi Pancasila yang menghilangkan pemilihan langsung.

Namun, langkah yang diambil Prabowo melalui Danantara tampaknya lebih berisiko daripada yang ia bayangkan. Tanpa transparansi yang memadai, aset besar negara dapat dengan mudah disalahgunakan. Lebih jauh lagi, penempatan Danantara langsung di bawah kekuasaan presiden membuka ruang bagi intervensi politik dalam bisnis negara. Alih-alih memperkuat investasi, dana yang dikelola Danantara bisa saja digunakan untuk membiayai proyek-proyek prioritas pemerintah, seperti program makan bergizi gratis atau bahkan pembentukan pasukan militer baru di berbagai daerah.

Keberanian Prabowo dalam mengubah lanskap ekonomi nasional memang patut dicatat, tetapi tanpa pengawasan dan akuntabilitas yang jelas, skema ini justru berpotensi menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia. Jika tidak dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik, Danantara bisa menjadi eksperimen ekonomi yang berujung pada krisis kepercayaan, baik di dalam negeri maupun di mata investor global. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News