Danantara: Jalan Baru Menuju Investasi atau Ancaman Baru Utang Negara?

Share

NUKILAN.id | Opini – Langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anak Angkatan Nusantara (Danantara) memantik perdebatan publik. Di tengah euforia pembentukan lembaga ini, muncul pertanyaan krusial: Apakah pemindahan perusahaan-perusahaan negara dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke bawah Danantara akan membuat mereka lebih profesional, transparan, dan bebas dari intervensi politik? Ataukah agresivitas mencari investasi dengan menggadaikan aset justru menjadi bumerang yang membenamkan Indonesia dalam beban utang yang lebih besar?

Danantara digadang-gadang akan menjadi Temasek-nya Indonesia, serupa dengan perusahaan investasi global milik Singapura. Namun, skeptisisme muncul ketika perbandingan itu dialihkan ke 1Malaysia Development Berhad (1MDB), lembaga investasi Malaysia yang terjerat skandal korupsi besar. Perbedaan mendasar antara Temasek dan 1MDB terletak pada strategi pengelolaan dana: Temasek mengelola kelebihan dana pemerintah dan memaksimalkan imbal hasil, sedangkan 1MDB berburu investor dengan menggunakan aset sebagai jaminan utang.

Dari awal pembentukannya, Danantara dirancang untuk menaungi tujuh perusahaan terbesar negara, yakni Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom, dan MIND ID, dengan total aset mencapai Rp8.886 triliun. Jika digabungkan dengan aset Indonesia Investment Authority (INA), angka ini menyentuh Rp9.046 triliun. Nantinya, perusahaan dengan misi khusus di bawah Kementerian Keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur juga akan dimasukkan, mendorong total aset badan ini melewati Rp1.000 triliun atau sekitar 75 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Namun, besarnya skala aset yang dikelola tidak otomatis menjadi jaminan keuntungan. Pemerintah menghadapi dilema pembiayaan pembangunan di tengah kebutuhan mendesak akan dana segar. Pendekatan agresif yang memanfaatkan aset BUMN sebagai jaminan bisa berisiko tinggi. Strategi ini menghadirkan ancaman leverage berlebih, di mana rasio utang jauh melampaui nilai aset. Dalam kondisi ini, arus kas perusahaan terkuras untuk membayar bunga utang, sementara jika pendapatan meleset atau nilai aset menurun, kelangsungan pinjaman menjadi sulit.

Sejarah telah membuktikan bahwa leverage tinggi adalah resep malapetaka. Jika Danantara tak dikelola dengan prinsip kehati-hatian, potensi jual rugi aset demi menutup utang menjadi nyata. Mismanajemen yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek atas stabilitas jangka panjang bisa berujung pada kebangkrutan.

Pendirian Danantara juga mencerminkan cara pemerintah membiayai program unggulan tanpa bergantung langsung pada Kementerian Keuangan. Dengan menempatkan Danantara di bawah kendali langsung presiden, ada kekhawatiran bahwa lembaga ini dimobilisasi untuk kepentingan politik tertentu, mirip praktik-praktik yang memanfaatkan BUMN sebagai sapi perah atau alat balas budi politik. Ini harus dihindari dengan pengawasan ketat dan mitigasi risiko yang komprehensif.

Dari sudut pandang makroekonomi, Danantara bisa menjadi bumerang jika penghitungan rasio utang hanya mencakup utang pemerintah, tanpa memperhitungkan beban utang BUMN. Cara hitung seperti ini menciptakan ilusi aman karena rasio utang terhadap PDB tampak berada di bawah 40 persen, padahal bila digabungkan dengan utang BUMN, angka tersebut melampaui batas aman.

Danantara, jika dikelola tanpa prinsip tata kelola yang ketat, hanya akan menjadi kosmetik ekonomi yang menyembunyikan keroposnya fondasi keuangan negara. Kementerian Keuangan harus dilibatkan dalam pengawasan penuh terhadap strategi leverage dan mitigasi risiko. Akhir dari pembagian jabatan sebagai balas budi politik di BUMN menjadi syarat mutlak.

Jangan sampai Danantara menjadi jebakan utang yang menjerumuskan Indonesia ke jurang. Transparansi, akuntabilitas, dan manajemen risiko yang hati-hati adalah kunci menjaga agar mimpi investasi besar ini tidak berubah menjadi mimpi buruk ekonomi. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News