NUKILAN.ID | OPINI – Lebih dari sekadar pergeseran wewenang dalam tata kelola negara, pengalihan kendali ratusan perusahaan pelat merah dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara—Danantara—telah memunculkan kegelisahan yang sahih. Bukan hanya karena perubahan lanskap politik, tetapi karena arah baru yang dipilih pemerintah mengandung risiko besar bagi masa depan ekonomi Indonesia.
Dalam konteks politik, transformasi ini telah mendepak tokoh kuat seperti Menteri BUMN Erick Thohir dari pusat kekuasaan. Dulu ia adalah sosok yang menentukan siapa yang duduk di kursi direksi dan komisaris perusahaan negara. Kini, dalam banyak forum strategis, ia bahkan tak lagi diberi kesempatan berpidato. Seolah, kekuasaan yang dulu melekat kini tercabut secara halus namun menyakitkan.
Namun lebih dari sekadar drama politik, yang seharusnya membuat kita lebih cemas adalah lahirnya potensi institusi ekonomi ekstraktif ala Danantara. Dalam istilah yang diperkenalkan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson—dua ekonom yang pada 2024 dianugerahi Nobel Ekonomi—institusi semacam ini menjadi sebab utama kegagalan negara. Dalam buku Why Nations Fail, mereka menjelaskan bagaimana sistem ekonomi dan politik yang menutup akses publik terhadap sumber daya dan kekuasaan akan menyeret negara ke jurang stagnasi dan kehancuran.
Danantara, meskipun dibungkus jargon modern tentang “investasi negara”, tampak mulai menapaki jalan berbahaya itu. Bayangkan, lebih dari 100 BUMN dengan total aset lebih dari Rp 10.000 triliun dikonsolidasikan di bawah satu lembaga yang minim akuntabilitas publik. Pengawasannya tidak diatur ketat dalam Undang-Undang BUMN, dan lebih mencemaskan lagi, lembaga penegak hukum tak bisa menyentuh direksi jika terjadi indikasi korupsi. Proyek-proyek merugikan pun tak akan dicatat sebagai kerugian negara. Inilah bom waktu.
Keistimewaan ini memberi ruang bagi para elite untuk mengalokasikan dana publik ke proyek-proyek yang sebenarnya tidak layak secara ekonomi, tetapi menguntungkan secara politik. Salah satu contohnya adalah proyek gasifikasi batu bara oleh PT Bukit Asam, yang secara matematis justru membebani negara lebih besar daripada penghematan subsidi LPG yang dijanjikan. Dalam proyek kilang senilai USD 2,25 miliar atau lebih dari Rp41 triliun, nama Hasyim Joyohadikusumo—adik Presiden Prabowo Subianto—ikut bermain melalui Gam Corp Capital, perusahaan asal Inggris. Ini adalah pengulangan pola klasik: kekuasaan dan kekayaan bersatu di tangan segelintir orang.
Tak hanya itu, fondasi hukum untuk memuluskan lahirnya institusi ini sudah dibangun sejak jauh hari. Revisi Undang-Undang Minerba pada awal 2025 memberi keleluasaan elite mengelola sumber daya alam tanpa transparansi. Sementara Undang-Undang Cipta Kerja di era Presiden Joko Widodo menjadi pintu masuk deregulasi besar-besaran. Kombinasi dua perangkat hukum ini telah menciptakan apa yang disebut Acemoglu dan Robinson sebagai “institusi ekstraktif” yang sempurna: sumber daya terkonsentrasi, dan akses publik terputus.
Kondisi ini diperparah oleh kian lemahnya fungsi checks and balances di Indonesia. Parlemen tak lagi kritis, lembaga penegak hukum kerap dijadikan alat kekuasaan, dan suara masyarakat sipil makin dikecilkan. Kecenderungan politik pun bergerak ke arah otoritarianisme. Peran militer menguat, dan wacana penghapusan pemilihan kepala daerah secara langsung kembali diusulkan. Ini pertanda jelas bahwa institusi politik Indonesia pun bergerak menuju ekstraktivisme.
Cerita mengenai jatuh bangunnya Erick Thohir di panggung politik mungkin menarik untuk dibahas di meja makan. Namun yang lebih penting adalah menyadari bahwa Indonesia sedang menuju fase paling krusial dalam sejarah modernnya. Ketika tata kelola negara dibajak oleh segelintir elite, dan rakyat dijadikan tameng atas nama kepentingan nasional, maka jalan menuju status failed state kian terbuka lebar.
Rakyat Indonesia harus waspada. Jika tak ada perubahan arah, maka yang menanti bukanlah kejayaan, melainkan kehancuran yang tak hanya membuat “tak enak makan”, tetapi membuat rakyat betul-betul tak bisa makan. Saat itu, bukan hanya Prabowo, bukan hanya Danantara, tapi kita semua akan menanggung akibatnya. (xrq)
PENULIS: AKIL