Nukilan.id – Bicara mengani polusi, sebagian besar orang selama ini baru mengenal jenis polusi yang umum seperti udara, air, atau tanah. Padahal, sebenarnya masih ada satu jenis polusi dengan ancaman serius yang tak kalah memberikan dampak negatif bagi lingkungan bahkan kesehatan, yakni polusi suara.
Tidak hanya di darat atau udara, polusi suara nyatanya juga dapat terjadi di lautan dan memberi dampak bagi makhluk hidup di dalamnya. Sejumlah ahli menyebut jika polusi suara adalah bahaya yang tak terlihat.
Sementara itu mengutip National Geographic, polusi suara didefinisikan sebagai suara berlebihan yang tidak diinginkan dan dapat memiliki efek merusak bagi kualitas kehidupan. Jenis polusi ini umumnya dihasilkan melalui banyak fasilitas industri atau berbagai aktivitas lainnya.
Apa standar dan batas yang menentukan sebuah suara dianggap sebagai polusi?
Standar suara
Sekadar informasi, suara memiliki satuan ukurnya sendiri yang dinamakan desibel (dB). Secara umum, skala desibel sendiri dimulai dari angka 0 dB hingga maksimal 160-180 dB. Angka maksimal yang dimaksud adalah besarnya satuan suara yang tidak dapat lagi ditoleransi oleh alat indra pendengar makhluk hidup, atau dalam hal ini telinga manusia.
Secara garis besar, skala suara standar yang dinilai ‘aman’ bagi manusia berada di kisaran angka 60-70 dB. Adapun sumber suara yang memiliki skala ukuran tersebut berasal dari aktivitas yang lazim dilakukan sehari-hari. Seperti suara percakapan saat berbicara, suara musik yang diputar dengan tenang, dan sejenisnya.
Di atas itu meski terdapat beberapa suara yang dirasa masih bisa ditolerir oleh telinga, sebenarnya sudah dikategorikan sebagai suara yang mengganggu dan dapat membahayakan indra pendengar apabila diterima secara terus-menerus.
Adapun beberapa suara di luar standar normal yang dapat ditolerir oleh telinga manusia namun tak disadari dapat memberi dampak terdiri mesin pemotong rumput (90 dB), kereta bawah tanah (90-115 dB), dan konser musik rock keras (110-120 dB), suara mesin pesawat (130 dB), suara konstruksi (110 db), dan masih banyak lagi.
WHO sebenarnya telah menetapkan jika batas tingkat kebisingan suara yang dapat ditelerir atau diizinkan secara umum berada di angka 55 dB untuk area luar ruangan, dan 70 dB untuk area komersial dan kawasan umum termasuk kawasan lalu lintas.
Namun nyatanya, rata-rata tingkat kebisingan suara yang terjadi di hampir berbagai kota-kota di seluruh negara lebih dari angka yang telah ditetapkan. Beberapa kota bahkan memiliki tingkat kebisingan ekstrem di atas 100 dB dalam kesehariannya.
Berikut daftar 10 kota paling bising di dunia:
- Dhaka, Bangladesh – 119 dB
- Moradabad, India – 114 dB
- Islamabad, Pakistan – 105 dB
- Rajashahi, Bangladesh – 103 dB
- Ho Chi Minh, Vietnam – 103 dB
- Ibadan, Nigeria – 101 dB
- Kupondole, Nepal – 100 dB
- Aljir, Aljazair -100 dB
- Bangkok, Thailand – 99 dB
- New York, Amerika Serikat – 95 dB
Dampak bagi lingkungan dan kesehatan
Polusi suara memiliki dampak bagi lingkungan terutama pada satwa liar. Berbagai macam hewan seperti serangga, katak, burung, dan kelelawar, bergantung pada suara untuk berbagai alasan. Polusi suara dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menarik pasangan, berkomunikasi, bernavigasi, mencari makanan, atau menghindari pemangsa.
Di samping itu, polusi yang sama juga dapat memengaruhi hewan laut, terutama yang mengandalkan ekolokasi seperti paus dan lumba-lumba dalam hidupnya. Polusi suara di laut sebagian besar disebabkan oleh suara keras atau yang bersifat mengacaukan seperti kapal dan pengeboran minyak.
Lain itu, beberapa suara paling keras dan paling merusak di laut berasal dari perangkat sonar angkatan laut yang dapat menempuh jarak ratusan mil melalui air. Suara sonar angkatan laut oleh para ilmuwan diyakini sebagai salah satu penyebab terdamparnya paus dan lumba-lumba secara massal.
Masih menurut sumber yang sama, polusi suara bagi manusia dapat menganggu kondisi kesehatan yang paling umum seperti Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Gejalanya bisa ditandai dengan telinga yang berdengung, dan kehilangan kemampuan pendengaran baik bersifat ringan atau sementara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jika dampak polusi suara bagi manusia akan terjadi dalam dua cara, yakni berupa efek langsung dan tidak langsung.
Mengenai efek langsung, gangguan akan terasa pada saraf akustik. Organ telinga bagian dalam berisi cairan yang disebut koklea akan mengubah getaran suara keras menjadi impuls listrik yang langsung menuju ke otak. Kebisingan yang konstan terutama jika suaranya keras, disebut dapat membebani dan membahayakan koneksi berbasis saraf dan menyebabkan gangguan pendengaran.
Sementara itu dalam bentuk efek tidak langsung dapat menyebabkan stres emosional tingkat rendah yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Di mana stres dapat menyebabkan produksi kortisol yang berlebihan. Di mana kortisol sendiri berkaitan dengan hormon kelenjar adrenal yang apabila dihasilkan pada tingkat lebih tinggi kerap dikaitkan dengan penyakit jantung.
Di Eropa, Badan Lingkungan negara tersebut bahkan telah memperkirakan jika kebisingan akibat polusi suara telah bertanggung jawab setidaknya atas 72.000 kedatangan pasien ke rumah sakit dan 16.600 kematian dini setiap tahun di Eropa saja. [GNFI]