Nukilan.id – Aceh memiliki banyak budaya yang jarang dimiliki oleh daerah lain. Kekayaan budaya provinsi di ujung barat Pulau Sumatra ini telah dikenal luas hingga ke mancanegara. Budaya yang berkembang di Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai Islam, sebab kehidupan masyarakat Aceh sarat dengan keimanan dan ketakwaan.
Salah satu budaya Aceh yang masih dipraktikkan oleh masyarakat adalah dalail khairat. Dalail khairat sebetulnya merupakan nama kitab karangan ulama terkenal di Magrib, Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman Aljazuli. Hidup tahun 807-870 Hijriah. Kitab berusia ratusan tahun ini mengajarkan tata cara berselawat dengan indah kepada Nabi Muhammad. Diyakini pula bahwa muslim yang rajin membaca dalail khairat nanti akan dekat bersama Rasulullah di akhirat.
Lahirnya karya ini berawal dari kisah unik. Syaikh al-Jazuli melakukan perjalanan menuju Haramain. Setengah perjalanan, di antara padang pasir, tiba waktu shalat. Ia singgah di kampung Badui untuk menunaikan shalat Zuhur. Ia melihat sebuah sumur besar, tapi tak melihat adanya timba. Segera ia mencari alat agar bisa menimba air. Setelah lelah mencari timba, tiba-tiba seorang bocah menghampirinya.
Baca juga: Marzuki: Tradisi Peusijuek Boleh Dilakukan dan Bukan Bid’ah
Si bocah bertanya karena syaikh terlihat seperti orang kesusahan. Syaikh pun menceritakan keinginan untuk berwudu, tapi tiada tempat untuk menimba air. Ia terus mecari timba, sambil bertanya keberadaan timba kepada bocah itu.
Si anak kecil mulai mendekat ke sumur, lalu membisikkan sesuatu ke dalam sumur. Dalam sekejap air sumur itu meluap ke atas. Syaikh al-Jazuli merasa kagum menyaksikan keajaiban itu. Ulama hebat pun bertanya amalannya sehingga dapat meraih kedudukan setinggi itu.
Bocah mungil menjelaskan, semua itu ia peroleh sebab banyak membaca selawat kepada Nabi Muhammad. Yaitu orang (nabi) yang apabila berjalan di padang belantara, binatang-binatang buas akan mengibas-ngibaskan ekornya (menjadi jinak). Setelah mendengar penuturan anak kecil itu, syaikh lantas bernazar untuk menyusun sebuah kitab yang diberi nama “Dalail Khairat”, membahas tentang selawat kepada Nabi Muhammad.
Beberapa tahun kemudian, naskah itu rampung dikerjakan. Kitab legendaris itu berisikan zikir, doa, dan selawat pada Nabi Muhammad. Namun, teks selawat lebih dominan. Selawat yang tertulis dalam kitab klasik ini berbeda dengan selawat lainnya, sebab memiliki nilai sastra tinggi dan menarik dibaca oleh berbagai kalangan. Karenanya, para ulama menobatkannya sebagai kitab selawat paling lengkap dan populer.
Di Aceh, dalail khairat dibaca oleh berbagai kalangan. Tetapi tetap menitikberatkan pada kalangan muda sebagai bagian dari pengaderan. Dalail khairat dibaca bersama-sama atau oleh tim dengan beragam seni dan irama. Seni bacaan dalail khairat tersebut membuat masyarakat Aceh, khususnya pemuda, tertarik mengikuti kegiatan amal tersebut dan terus melestrikannya.
Baca juga: Turki Sesalkan Pengabaian Situs Sejarah di Banda Aceh
Dahulu, hampir setiap kampung mengadakan dalail khairat di meunasah dan masjid. Semasa kecil, saya dan santri lainnya diundang ke meunasah sebagai anggota tetap dailail khairat. Mereka sengaja memilih santri kompeten di dayah/balai pengajian agar mengikuti latihan seminggu sekali.
Jadwal kegiatan dalail khairat bervariasi, sesuai kesepakatan tim. Lumrahnya seminggu sekali, diadakan pada malam hari. Ada yang mengadakannya pada malam Jumat, sebab dianggap memiliki keutamaan membaca selawat pada malam dan hari Jumat.
Dalail khairat biasanya dibimbing oleh teungku. Dalam bahasa mereka disebut syaikh. Syaikh ini membimbing cara baca dan seni irama, sehingga bacaannya terdengar serentak dan merdu.
Selain di meunasah, dalail khairat menjadi amalan rutin kaum santri di dayah-dayah tradisional seluruh Aceh. Bagi santri, ada manfaat tambahan bagi yang mengikuti dalail khairat, yaitu membatu mereka agar lancar membaca kitab Arab gundul, atau disebut juga praktik ilmu nahu dan saraf. Kecepatan mata akan terlatih, sebab pada bait-bait tertentu harus dibaca cepat, benar, dengan tetap memperhatikan tajwid.
Sering pula masyarakat Aceh mengadakan kenduri dengan mengundang tim dalail khairat ke rumahnya. Harapannya mendapat berkah dan rida Allah atas lantunan dan bacaan dalail khairat.
Kini, semangat masyarakat Aceh terhadap dalail khairat telah meredup. Terutama di kalangan kaum milenial. Hanya sedikit dari mereka yang peduli pada budaya yang islami ini, itu pun perlu sokongan dan dorongan kuat dari aparatur gampong.
Tim-tim dalail khairat hanya latihan saat ada event perlombaan saja atau ketika mendapat undangan tampil di televisi lokal. Jika tiada event, semangat latihan meredup. Padahal tujuan dalail khairat bukan untuk merebut juara, melainkan untuk beramal memperbanyak zikir, berdoa, dan selawat seperti tertulis di dalam naskah dalail khairat. Kegiatan dalail khairat sebagai wujud cinta muslim kepada Rasulullah dan mengharap syafaatnya kelak di akhirat.
Selain itu, dalail khairat bertujuan membudayakan syiar Islam di gampong-gampong serta menghidupkan semangat gotong royong dan kekompakan. Sedangkan mayoritas para milenial cenderung menyibukkan diri dengan hal yang minim manfaat. Mereka lebih mementingkan nongkrong di warung kopi saat malam hari, bersenda gurau dengan teman, atau menyibukkan diri dengan media sosial. Bahkan ada yang kecanduan game online hingga larut malam.
Baca juga: Cut Putri Tegur Walikota Banda Aceh Karena Musnahkan Makam Raja dan Ulama
Tidak bisa dipungkiri, pengaruh teknologi telah menggerus karakter generasi Aceh. Budaya islami yang sejatinya dapat menjadikan mereka dekat dengan Allah, bahkan dapat mendatangkan rupiah jika ditekuni, justru budaya indah ini ditinggalkan.
Kaum milineal merasa tidak penting lagi pada budaya dalail khairat. Bahkan ada sebagian mereka tidak tahu apa itu dalail khairat. Jika realitas ini terus dibiarkan, tidak mustahil budaya Aceh akan tinggal nama ditelan zaman.
Semua elemen masyarakat Aceh harus menitip kepedulian terhadap budaya peninggalan indatu. Para kaum milineal yang telah menjauhi dalail khairat harus ditarik kembali. Mereka harus dirangsang bahwa budaya itu penting sebagai peradaban sebuah bangsa.
Orang-orang yang berkiprah di bidang budaya akan menemukan jati dirinya. Mereka bisa hidup dengan budaya, dan budaya itu akan menghidupkan mereka. Misalnya dengan ada festival budaya di tingkat nasional dan internasional, mereka bisa tampil mempertontokan keunggulan budaya Aceh, dan pastinya ada keuntungan material yang mereka peroleh. Tak heran jika Dispora Aceh selalu menjaring pemuda dan pemudi andal yang menguasai budaya Aceh, untuk mengikuti event bergengsi tahunan. Ke depan, merekalah yang akan menjaga dan memimpin Aceh. Bekal pengetahuan dan budaya harus ditanamkan, di samping kecakapan lainnya agar kekayaan budaya Aceh tetap lestari hingga ke anak cucu.
Di beberapa tempat, dalail khairat sengaja diprogramkan secara rutin. Wujud kepedulian dapat dilihat dari adanya anggaran dana desa untuk pelatih dan konsumsi tim dalail khairat. Tujuannya agar kaum milineal tidak terpengaruh pergaulan bebas yang bermuara pada penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan aneka kenakalan remaja dewasa ini. Di sini, budaya berfungsi sebagai pelindung generasi dan pada akhirnya budaya Aceh akan selamat dan tersebar ke seantero dunia.[serambi]